For the Love of Books

Anugerah Membaca Cerita Dea

OLEH YUS ARIYANTO
Editor jalankaji.net
yus.ariyanto@jalankaji.net

Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.

Redaksi Jalankaji.net

| |
deaanugrah
Pernah dengar nama Georg Eberherd Rumpf? Ia lahir di Hanau, Jerman, pada 1627. Kepada ayahnya, ia belajar matematika, bahasa Latin, dan teknik menggambar mekanik. Tapi ia tak mengikuti jejak sebagai insinyur sipil. Rumpf melanglang buana. Sampai akhirnya menetap di Maluku.

Bosan jadi serdadu, Rumpf alias Rumphius terpikat untuk mempelajari alam tropis. Rumpf kelak dikenal sebagai pakar botani masyhur yang menulis D'Amboinsche Rariteitkamer alias Kotak Keajaiban Pulau Ambon (1705) dan Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan Ambon (1741).

Jauh sebelumnya, pada 1670, Rumpf buta karena glukoma. “Tanpa penglihatan, Rumphius mengandalkan indra-indranya yang lain buat memahami dan menggambarkan temuannya. Ia menyentuh, mencecap, dan menghidu aroma spesimen-spesimennya dengan perhatian lebih, dan upaya itu melengkapi ingatannya yang kuat atas warna dan keterampilannya menciptakan perumpamaan visual,” tulis Dea Anugerah dalam esai Orang Buta Berpandangan Jauh. Read More…

Dari Balik Layar: Obama sang Presiden

OLEH GDE DWITYA
Pendiri Sasmita Research and Creative Lab, Jogjakarta; editor jalankaji.net.
gde.dwitya@jalankaji.net

Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.

Redaksi Jalankaji.net


| |

Di penghujung tahun 2016, saya sempat menghadiri sebuah weekend party di rumah profesor saya. Satu topik yang muncul di perbincangan malam itu adalah soal Barack Obama yang menjelang turun dari jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat. “He disappointed many of his supporters,” begitu kira-kira penilaian sang profesor. Saat itu Obama memang mengecewakan sebagian pendukungnya. Ia yang diharapkan melanjutkan aspirasi gerakan akar rumput untuk menghentikan kegiatan perang dan invasi Amerika di luar negeri tampak melempem begitu masuk Gedung Putih.

Buku memoar Obama ini, A Promised Land, mengobati rasa ingin tahu saya tentang apa yang terjadi di balik layar. Obama, sang politisi penjaja harapan, ternyata punya banyak keterbatasan. Karir politiknya yang cemerlang, ternyata tidaklah terberi. Ada kebetulan-kebetulan—semisal kesempatan untuk maju menjadi senator dari Illinois—dan ada keberanian mengambil kesempatan yang hanya datang sekali seumur hidup.

Dari memoar ini kita jadi tahu Obama benar-benar mulai dari nol ketika terjun ke politik praktis. Ia belajar sambil jalan. Read More…

Berburu Makanan Jepang Yang Otentik

OLEH NURAN WIBISONO
Editor jalankaji.net
nuran.wibisono@jalankaji.net

Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.

Redaksi Jalankaji.net

| |

sushi_and_beyond
Ada banyak buku menarik yang saya baca tahun ini baik buku terbitan 2020 (This Album Could Be Your Life terbitan Elevation Books, atau Babat Alas Dangdut Anyar bikinan Michael H.B Raditya, misalkan) ataupun yang sudah terbit bertahun, bahkan berdekade, lampau. Di kategori ini, membaca ulang buku Balada Si Roy —untuk memperingati pembuatan filmnya— masih memberikan api yang sama seperti ketika membacanya beberapa belas tahun lalu.

Namun dari buku kategori lama yang saya baca tahun ini, tak ada yang mengalahkan kesenangan saya ketika membaca Sushi & Beyond: What Japanese Know About Cooking yang ditulis Michael Booth dan diterbitkan pada 2009. Ini buku yang saya beli sewaktu residensi setahun silam. Saya sempat skimming buku ini jelang pulang, Desember 2019 hingga awal Januari 2020. Saya baru membaca secara “serius” buku ini sekitar bulan April-Mei 2020, ketika kejenuhan di rumah mencapai titik kulminasi dan butuh bacaan yang menghibur.

Buku ini mengisahkan Booth, penulis Inggris, yang pergi ke Jepang dengan motivasi mencari makanan Jepang otentik karena gojekan dengan karibnya, Katsotoshi Kondo, pria campuran Jepang dan Korea, yang (dalam derajat tertentu memang sangat diperlukan) amat memuja makanan Jepang dan meremehkan kuliner Eropa.

Suatu hari, Toshi memberi buku Japanese Cooking: A Simple Art (Shizuo Toji, 1979) pada Booth. Buku itu, ujar penulis kuliner Ruth Reichl, bukan sekadar buku masak, melainkan “sebuah risalah filsafat (tentang masakan Jepang).” Read More…

Persoalan Roman Kiwari

OLEH ARMAN DHANI
Editor jalankaji.net
arman.dhani@jalankaji.net

Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.

Redaksi Jalankaji.net

| |

modern_love
Salah satu hal paling mengerikan yang lahir dari pandemi bukan hanya kematian karena wabah, tapi kesunyian, kesepian, dan hilangnya interaksi antar manusia saat melakukan isolasi mandiri. Satu dari empat orang dewasa di Amerika mengalami kesepian saat pandemi dan berkembang jadi depresi. Segala bentuk afeksi yang sebelumnya kita anggap biasa, seperti sentuhan, kontak fisik, dan pertemuan langsung, kini jadi mimpi buruk.

Pandemi membuat segala proses interaksi manusia serba terbatas. Akan makin runyam jika kalian hidup sendiri dan hendak memulai relasi baru. Persoalan paling merepotkan dari hubungan manusia adalah interaksi yang butuh waktu dan pemahaman kompleks. Ini yang mendasari lahirnya kolom Modern Love di New York Times. Kolom yang dimulai sejak 2004 ini berisi berbagai cerita tentang hubungan manusia mulai dari pengkhianatan, percintaan yang kandas, perasaan yang tak berbalas, hingga imajinasi personal yang problematik.

Kolom ini kemudian dibukukan pada September tahun lalu dan dieditori oleh Daniel Jones. Buku ini jadi relevan saat pandemi karena ia membuat kita teringat kehidupan sebelum wabah hadir. Saat kita jatuh cinta, bersama, berpisah, patah hati, dikhianati, kecewa, berharap, dan berbahagia. Read More…

Shokunin: Empu Kayu, Bukan Tukang Kayu Biasa

OLEH HIKMAT BUDIMAN
Direktur Eksekutif Populi Center, editor jalankaji.net
hikmat.budiman@jalankaji.net


Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.

Redaksi Jalankaji.net


| |

shokunin
Suatu saat saya ingin bisa menulis tentang kayu, karena sejak kecil saya suka mendengar suara ketika bilah ketam yang tajam mengupas permukaan papan atau balok Jati, menghempaskan lapisan tipis-tipis melalui lubang di punggugnya. Berulang-ulang. Bunyi yang nyaring bening, bersih, menukik tapi tetap terdengar halus di ujung. Musik.

Setiap sebilah logam yang terasah sangat tajam di tangan yang sangat terlatih berhantaman dengan lapisan keras kayu Sonokeling atau Jati atau kayu apa saja, itu seperti mengisyaratkan selalu ada luka pada segala yang tampak mempesona di permukaan. Kekerasan yang menghaluskan. Cantik itu luka kata pengarang Indonesia ternama, Eka Kurniawan.

Saya menyukai bunyi ketam menerkam muka-muka kayu seperti saya suka mendengar suara kesiur angin membawa hujan meningkahi pucuk-pucuk ranting bambu. Atau seperti ketika merasakan keterpukauan Sapardi Djoko Damono melihat pergumulan cinta membara antara api dan kayu, yang maknanya tidak bisa seluruhnya diringkus oleh kata-kata. Bahkan oleh kata-kata Sapardi sendiri.

Lepas dari hal-hal melodramatis itu, Japanese Woodworking Tools. Their Tradition, Spirit and Use (1984), yang ditulis oleh Toshio Odate menghubungkan saya secara imajinatif dengan bunyi-bunyi yang saya sukai tadi. Karena itu ia jadi bacaan favorit saya tahun 2020 ini. Read More…

Membaca Kemanusiaan di Tengah Pandemi

OLEH RIZAL SHIDDIQ
Pengajar ekonomi di Universitas Leiden
Editor jalankaji.net
rizal@jalankaji.net

Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.

Redaksi Jalankaji.net


| |

Seingat saya, saya pernah membaca novel ini, bersama sejumlah terjemahan karya Malraux dan Sartre, beberapa tahun yang lalu, pada usia orang biasanya masih bersemangat ingin menjadi yang paling eksistensialis. Entah kenapa, waktu itu buku ini tak meninggalkan kesan yang dalam. Kemungkinan besar karena saya masih membacanya sebagai kisah tentang sampar secara harfiah, sementara pandemi saat itu sama sekali tak terbayangkan.

Sampai Covid-19 menerjang kita semua di tahun 2020 ini.

Tiba-tiba, buku yang saya beli lagi di toko buku lokal beberapa minggu sebelum lockdown diberlakukan kembali minggu lalu, terasa begitu familiar. Novel yang ditulis Albert Camus tahun 1947, diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan baik sekali oleh Stuart Gilbert, dan diterbitkan Penguin tahun 2010, ini menjadi buku terbaik yang saya baca ulang di tahun 2020 ini. (11-12 dengan A Promised Land dari Obama, tapi itu nanti saja ceritanya).

The Plague berkisah tentang sekumpulan manusia biasa yang bersama-sama berusaha sebisanya menghalau wabah yang mengancam keselamatan bersama – sementara birokrasi, seperti biasa, tak bisa bergerak cukup cepat, dan penguasa hanya sayup-sayup terdengar di kejauhan. Wabah ini dikisahkan terjadi di kota Oran, waktu itu wilayah kolonial Perancis di Aljazair.

Bocoran plot, ringkasan, dan spoiler novel ini bertebaran di internet; tetapi intinya, ini prosa kemanusiaan yang asyik, sekaligus menjadi dasar bagi kata-kata Camus yang barangkali paling terkenal: "to state quite simply what we learn in time of pestilence: that there are more things to admire in men than to despise." Read More…

Kisah-Kisah Perdagangan Paling Gemilang

OLEH PHILIPS VERMONTE
Direktur Eksekutif CSIS, pendiri jalankaji.net
philips.vermonte@jalankaji.net

Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.

Redaksi Jalankaji.net


| |

Kisah-Kisah-Perdagangan-Paling-Gemilang
Tahun 2020 adalah tahun mencekam, annus horribilis. Banyak hati mengkerut dan semangat yang pupus karena ketidakpastian dan juga karena anxiety yang dimunculkan oleh wabah yang disebabkan oleh virus COVID-19 yang tak kasat mata namun mematikan ini. Rasa was-was menghinggapi banyak orang. Bukan hanya karena kita seperti sedang berjudi roullette Rusia bersiap menunggu giliran terekspose pada virus yang fatal itu, tetapi juga karena konsekuensi bawaannya di luar urusan kesehatan. Situasi ekonomi yang memburuk mengancam nafkah bagi karyawan atau mengancam kelangsungan usaha. Serba murung ini berlaku untuk semua, tidak peduli apakah anda staf atau pimpinan, pengusaha atau karyawan.

Bila Anda kebetulan berada pada posisi manajerial di tempat kerja, selama pandemi yang mentorpedo banyak rencana kerja yang telah disusun di tahun sebelumnya, pasti Anda harus melihat seluruh problematika dan konsekuensinya pada kantor Anda secara helicopter view. Otomatis tekanan pada diri Anda bertambah. Apalagi, seiring dengan kewajiban untuk harus memikirkan nasib banyak orang dan masa depan kantor Anda itu, mungkin Anda juga harus memikirkan kekhawatiran dan persoalan pribadi Anda sendiri. Singkat kata: tahun 2020 adalah tahun yang tidak biasa, melelahkan, memusingkan, dan sangat mengkhawatirkan. Read More…

Biografi Metallica Penawar Rindu Konser

OLEH IRINE GAYATRI
Peneliti LIPI, mahasiswa S3 di Monash University
Editor jalankaji.net
irine.gayatri@jalankaji.net

Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.

Redaksi Jalankaji.net


| |

Aktivitas apa yang Anda paling rindukan lebih dari semuanya di masa pandemik? Bagi saya: menonton konser musik. Ketika mulai studi di Melbourne ini, saya sudah sempat sangat girang bisa membeli tiket murah Iron Maiden, siap-siap ikut koor “6..6..6. the number of the beast” -nya itu. Apa daya pandemi datang, terpaksa refund.

Sambil sedikit bernostalgia mengingat gemuruhnya konser Metallica 29 Agustus 2013, yang tiketnya saya beli tepat di Hari H dari seorang teman wartawan TEMPO, pengobat rindu pada konser saya di tahun 2020 ini adalah membaca sebuah buku biografi berjudul Metallica, Enter Night: the Biography, yang ditulis oleh Mick Wall. Buku menyenangkan ini saya beli dengan tidak sengaja beberapa bulan yang lalu ketika melewati sebuah toko buku di Melbourne. Buku ini seolah menyegarkan kembali ingatan saya ketika Metallica mengawali konser mereka tahun 2013 di Jakarta dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya disambut applaus riuh penonto Read More…

Arief Budiman dan Chairil Anwar: Pertemuan tanpa Percakapan

OLEH ERWINTON SIMPATUPANG
Peneliti Populi Center



| |

Dengan "Doa", Chairil berserah: "Tuhanku/ aku hilang bentuk/ remuk... Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling." Dengan sajak, Chairil mencemooh agama:

"Aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidadari beribu.


Namun, sajak berjudul "Sorga" itu tidak hanya berhenti di situ. Larik-larik terakhirnya berbunyi:

"Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidadari
suaranya berat menelan seperti Nina
punya kerlingnya Yati? "


Dari sajak-sajak Chairil yang menyoal agama, yang kerap dijadikan sandaran (terakhir) manusia, Arief Budiman (AB) dalam Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan menyatakan bahwa 'Si Binatang Jalang' lebih dari sekadar mencemooh agama. Bagi AB, ia bahkan menolak secara ekstrem agama. Sebab, ia tidak mau menukarkan, terlebih mengorbankan, apa yang dimilikinya dengan sesuatu yang tidak pasti di masa depan. "'Lagi siapa yang bisa mengatakan pasti di situ memang ada bidadari' yang sama cantik dan genitnya seperti Nina dan Yati," perempuan-perempuan yang hadir di kehidupannya (hal. 51). Dari pernyataan AB, kita tahu bahwa Chairil memilih yang pasti 'di sini' dan 'di hari ini' daripada yang tidak pasti 'di sana' dan 'di kemudian hari'. Read More…

Kunang-Kunang di Langit Gelap Korea Utara

OLEH PHILIPS VERMONTE
Direktur Eksekutif CSIS, pendiri jalankaji.net
philips.vermonte@jalankaji.net



| |

th accusation
Dari Amerika Latin hingga Afrika, dari Eropa hingga Asia, rezim-rezim autoritarian datang silih berganti. Namun tidak ada rezim autoritarian yang tidak memunculkan perlawanan bahkan di tempat-tempat yang paling membelenggu sekalipun. Bukan sekali dua perlawanan-perlawanan itu dimulai oleh para penulis yang menolak untuk tunduk.

Di antara rezim autoritarian yang tersisa di dunia, Korea Utara adalah salah satu yang paling tertutup. Orang di luar hanya bisa berspekulasi mengenai apa yang terjadi di dalam. Nyaris tidak ada informasi yang keluar darinya. Korea Utara seperti lubang hitam di antariksa yang amat pekat gravitasinya sehingga bahkan cahaya tidak mampu keluar darinya.

Informasi yang keluar dari Korea Utara terbatas, walaupun sudah puluhan ribu warga Korea Utara mempertaruhkan nyawa melarikan diri dari rezim yang mencekik kebebasan ke negeri tetangga Korea Selatan. Pelarian yang beruntung bisa selamat, beberapa di antaranya kemudian menjadi penulis atau juga penyair. Akan tetapi, penulis buku kumpulan tujuh cerita pendek The Accusation: Forbidden Stories from Inside North Korea ini bukan salah satu dari para pelarian yang selamat itu. Read More…

Dari Mana Datangnya Musik Dunia Ketiga?

OLEH TAUFIQ RAHMAN
Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, founder Elevation Records


| |

Awal tahun ini, saat coronavirus sedang berkecamuk di Wuhan dan mungkin sudah mendarat di Amerika Serikat, saya sempat mampir beberapa hari di Pittsburgh (sebelum terbang pulang selama 26 jam ke Jakarta dengan singgah di Hong Kong!). Tidak ada agenda atau niatan khusus; hanya mengunjungi seorang teman sambil mengikuti sejenak kelas tentang Led Zeppelin dari seorang etnomusikolog pemerhati dangdut, mengunjungi museum Andy Warhol, wira-wiri ke toko buku dan record store yang mudah ditemukan di setiap sudut jalan. Namun karena cuaca yang sedang dingin, meski tidak terlalu dingin, lebih banyak waktu justru dihabiskan untuk membaca buku sambil mendengarkan piringan hitam dari peralatan ala kadarnya.

Dari beberapa buku yang sempat habis terbaca ada satu yang meninggalkan kesan begitu mandalam. Buku ini, yang ditulis oleh professor Studi Amerika dari Universitas Yale Michael Denning, menawarkan cara pandang yang unik tentang proliferasi musik-musik klangenan dunia ketiga; genre-genre seperti keroncong, tarab, tango, samba dan musik Hawaiian. Di buku dengan judul yang begitu bergelora; Noise Uprising: The Audiopolitics of a World Musical Revolution, Michael Denning, seorang peneliti studi Amerika justru berbalik arah 180 derajat dan berusaha mencari menawarkan cara pandang lain tentang formasi genre-genre musik yang berkecambah di kota-kota “Pelabuhan” besar dunia ketiga. Denning menolak conventional wisdom bahwa ekspresi bermusik yang muncul di tempat-tempat ini merupakan hasil revolusi musik yang memancar dari pusat (core) yang menggerus pinggiran (periphery). Read More…

100%BBC, 100% Indonesia?

OLEH IGNATIUS HARYANTO
Pengamat media, pengajar jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang


| |


londoncallingBBC
Umat Katolik pasti ingat adagium yang pernah diucapkan Mgr. Albertus Soegijapranata: "100% Katolik, 100% Indonesia." Dalam pengertian Uskup yang kisah hidupnya pernah diangkat ke layar lebar tersebut, 100% Katolik, 100% Indonesia mau menunjuk pada loyalitas yang harus ditunjukkan warga Katolik di Indonesia, dan walaupun secara matematis rasanya tak mungkin perhitungan di atas, tetapi yang utama hendak ditunjukkan di sini, pada diri seseorang tersebut adalah loyalitas pada bangsa dan loyalitas pada kepercayaannya. Tak perlu dipertentangkan.

Entah kenapa saya teringat dengan adagium ini setelah menyimak buku London Calling ini, tetapi dengan penulisan berbeda: 100% BBC, 100% Indonesia? Kita tahu BBC adalah salah satu organisasi media besar dan tertua di dunia, dengan standar jurnalistik yang tinggi, dengan prinsip imparsialitas yang sangat terkenal, bahkan kerap berseberangan jalan dengan pemerintah Inggris yang sebenarnya membiayai operasi kantor BBC lewat pajak dan iuran para pendengar.

Buku ini memuat kisah 35 orang Indonesia yang terpilih menjadi bagian dari organisasi media besar tersebut, tetapi ketika menjadi bagian dari BBC, bahkan BBC Seksi / Siaran Indonesia, nasionalitas mereka semua terpaksa harus dibekukan terlebih dahulu. Sederhana: karena prinsip imparsialitas itulah yang mereka junjung tinggi. Bahkan kepada pemerintah Indonesia, para jurnalis ini tak memosisikan mereka adalah bagian dari “kita” dan “tanah air kita.” Prinsip imparsialitas BBC yang mengemuka dan tak ada urusan dengan kewarganegaraan jurnalisnya. Read More…

Ibadah Sehari-hari Buldanul Khuri

OLEH YUS ARIYANTO
Editor jalankaji.net
yus.ariyanto@jalankaji.net

| |

Saksi Mata melambungkan nama Seno Gumira Ajidarma ke langit kesusastraan Indonesia. Dihiasi gambar Agung Kurniawan, desain sampul dibikin Buldanul Khuri – biasa disapa Buldan. Nama terakhir bukan hanya berurusan dengan sampul. Ia adalah pendiri Bentang Budaya, penerbit kumpulan cerpen tersebut.

Bentang adalah salah satu “monumen” dari dekade 90-an. Masih lekat di ingatan beberapa buku penting dan menarik lain dari Bentang. Misalnya, Senjakala Kebudayaan (kumpulan esai Nirwan Dewanto yang memuat makalahnya di Kongres Kebudayaan 1991) atau Zaman Peralihan (kumpulan esai Soe Hok Gie). Juga kumpulan surat pelukis Nashar yang diluncurkan ulang di bawah judul Nashar oleh Nashar dan terbitan ulang novel masyhur Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit.

Buldan Dengan Tiga Bukan ini adalah catatan ringkas penyair Dorothea Rosa Herliany yang merekam kiprah Buldan sebagai “orang buku,” saat berada di puncak maupun di nadir, sejak 1992. Diterbitkan secara indie oleh MataAngin, dua tahun lalu, buku ini memantik rasa penasaran saya sejak pertama kali dipromosikan di media sosial.

Tentu, sebagian besar isi buku 85 halaman ini mengisahkan Buldan dalam mengelola Bentang – meski penerbit berbasis di Yogya itu bukan lagi miliknya sejak 2004.
Read More…

Rumitnya Relasi Manusia, Media dan Teknologi

OLEH WENDIYANTO SAPUTRO
Pemimpin Redaksi Kumparan BISNIS



| |

digital_dilemma
Sejak mengetahui ada buku Digital Dilemma, Problem Kontemporer Adopsi Media Digital di Indonesia, saya sudah antusias ingin membacanya. Alasan pertama adalah, seperti disebutkan dalam judul buku itu, isu media digital di Indonesia merupakan isu kontemporer, yang masih minim kajian. Padahal problematikanya sangat kompleks, yang secara halus dibahasakan sebagai ‘dilema’ oleh sang penulis buku, Dr. Firman Kurniawan.

Alasan kedua yang membuat saya antusias adalah karena sejak kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada 1990-an, saya merasa cukup sulit mendapati buku-buku komunikasi yang mengulas suatu fakta peristiwa atau fenomena, dari perspektif komunikasi. Kalaupun ada, merupakan ulasan fakta atau fenomena di luar Indonesia, karya penulis asing. Ini berbeda dengan buku kajian teori komunikasi yang menjadi bahan perkuliahan, relatif lebih banyak didapati.

Read More…