January 2021
Books Open Your Mind
30/01/21 09:20 Kategori: Gambar
Sebab Utama Kemunduran Negara-Negara Muslim
28/01/21 08:16 Kategori: Sejarah
OLEH LUTHFI ASSYAUKANIE
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, Jakarta.
Pencarian tentang sebab-sebab kemunduran kaum Muslim adalah tema klasik yang sudah dilontarkan para intelektual dan sarjana sejak akhir abad ke-19. Shakib Arslan (1869-1946) barangkali adalah intelektual pertama yang melempar isu menggugah ini, dalam sebuah bukunya yang terkenal: Limadza ta'akkhara al-muslimun wa limadza taqaddama ghayruhum? (Kenapa kaum Muslim terbelakang dan bangsa-bangsa lainnya maju?).
Arslan, seorang pendukung Pan-Islamisme dan pengagum Jamaluddin al-Afghani dan Abduh, mencoba bicara jujur tetang kemurungan kaumnya. Hampir seluruh tanah Muslim ketika itu berada di bawah penjajahan Eropa. Dari Maroko hingga Aceh, tak ada negara Muslim yang bebas dari cengkeraman kolonialisme.
Arslan heran, kenapa bangsa yang kitab sucinya meneguhkan "sebaik-baik bangsa yang dihadiahkan untuk manusia" (khaira ummatin ukhrijat linnas), berada dalam kegelapan, keterbelakangan, miskin dan jorok? Mengapa kaum Muslim yang pada suatu masa pernah menjalani kejayaan kini mengalami keterpurukan yang luar biasa? Read More…
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, Jakarta.

Arslan, seorang pendukung Pan-Islamisme dan pengagum Jamaluddin al-Afghani dan Abduh, mencoba bicara jujur tetang kemurungan kaumnya. Hampir seluruh tanah Muslim ketika itu berada di bawah penjajahan Eropa. Dari Maroko hingga Aceh, tak ada negara Muslim yang bebas dari cengkeraman kolonialisme.
Arslan heran, kenapa bangsa yang kitab sucinya meneguhkan "sebaik-baik bangsa yang dihadiahkan untuk manusia" (khaira ummatin ukhrijat linnas), berada dalam kegelapan, keterbelakangan, miskin dan jorok? Mengapa kaum Muslim yang pada suatu masa pernah menjalani kejayaan kini mengalami keterpurukan yang luar biasa? Read More…
Menikmati Tragedi Melalui Stand-Up Comedy
25/01/21 06:49 Kategori: Novel
OLEH NANDA WINAR SAGITA
Seorang guru sejarah; penulis lepas
Bacaan mengajarkan saya bahwa orang Israel juga punya keresahan yang sama seperti kita: keresahan dalam menjalani hidup normal. Setidaknya begitulah yang saya simpulkan setelah membaca Etgar Keret dan Amos Oz. Keret resah dengan kekerasan dan Oz resah dengan kerusakan. Kendati pandangan politik Keret dan Oz bisa dibilang berseberangan, idealisme mereka untuk mewujudkan perdamaian antara Israel dan Palestina sama. Demikian juga dengan penulis Israel lain: David Grossman.
David Grossman adalah penulis Israel ketiga yang saya baca. Dia punya riwayat kelam dengan perang. Pada 2006, Uri, putra bungsunya yang juga seorang komandan tank dalam Perang Lebanon, tewas di usia 20 meski baru dua hari menjadi tentara. Grossman menulis buku Falling Out of Time untuk mengenang Uri. Pada 2010, Grossman dihajar oleh polisi Israel saat berpartisipasi dalam demonstrasi menentang pembangunan Pemukiman Israel di wilayah Palestina.
Saat ditanya wartawan The Guardian mengapa seorang penulis masyhur sepertinya bisa diserang oleh polisi, Grossman cuma menjawab, “Aku tidak tahu apakah polisi itu mengenalku.” Begitulah Grossman. Tetap kritis terhadap kebijakan Israel meski dia sendiri adalah bagian dari negara itu.
Read More…
Seorang guru sejarah; penulis lepas

David Grossman adalah penulis Israel ketiga yang saya baca. Dia punya riwayat kelam dengan perang. Pada 2006, Uri, putra bungsunya yang juga seorang komandan tank dalam Perang Lebanon, tewas di usia 20 meski baru dua hari menjadi tentara. Grossman menulis buku Falling Out of Time untuk mengenang Uri. Pada 2010, Grossman dihajar oleh polisi Israel saat berpartisipasi dalam demonstrasi menentang pembangunan Pemukiman Israel di wilayah Palestina.
Saat ditanya wartawan The Guardian mengapa seorang penulis masyhur sepertinya bisa diserang oleh polisi, Grossman cuma menjawab, “Aku tidak tahu apakah polisi itu mengenalku.” Begitulah Grossman. Tetap kritis terhadap kebijakan Israel meski dia sendiri adalah bagian dari negara itu.
Read More…
Books Are A Lot Like Food
23/01/21 07:09 Kategori: Gambar
OLEH DWINITA LARASATI
Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary.

Dosen Desain Produk Industri FSRD ITB, Ketua Bandung Creative City Forum; pembuat dan penerbit graphic diary.

Sherpa Hebat Bernama Tenzing
19/01/21 06:46 Kategori: Sosok
OLEH PHILIPS VERMONTE
Direktur Eksekutif CSIS, pendiri Jalankaji.net
philips.vermonte@jalankaji.net
Sejak tahun 1865, nama yang digunakan untuk menyebut puncak tertinggi di dunia adalah Puncak Everest, yang diambil dari nama seorang geographer berkebangsaan Inggris Sir George Everest. Penggunaan nama seorang saintis ini sedikit banyak menunjukkan bahwa bagi orang Barat, daerah yang jauh adalah daerah eksotik dan harus ditaklukan. Sebagaimana sejarah panjang rasionalisme Barat yang menghidupkan sains dalam rangka menaklukan alam raya.
Sir George Everest mungkin belum pernah sampai ke kaki gunung ini. Adalah Andrew Scott Waugh, seorang geographer yang merupakan murid Sir George Everest, yang memulai observasi pertama terhadap gunung ini dan menemukan cara untuk menduga ketinggiannya. Ia kemudian bisa menyimpulkan bahwa puncak gunung ini, yang hingga waktu itu hanya disebut sebagai Puncak XV, adalah puncak gunung tertinggi di dunia. Pada Maret 1856, ia mengusulkan kepada Royal Geographical Society agar puncak itu diberi nama Puncak Everest karena dua alasan. Pertama adalah untuk menghormati gurunya itu; kedua karena ia tidak bisa menemukan nama lokal bagi puncak tersebut.
Tentu saja alasan kedua adalah buah dari penarikan kesimpulan yang tergesa-gesa. Ada banyak nama yang diberikan oleh penduduk lokal yang tinggal di daerah-daerah yang mengelilingi rantai pegunungan Himalaya ini. Mereka mengenalnya dengan banyak nama lain, di antaranya adalah Chomolungma, nama yang dikenal oleh Tenzing Norgay, seorang sherpa hebat yang bersama Edmund Hillary menjadi orang-orang pertama yang mencapai Puncak Everest pada 29 Mei 1953.
Read More…
Direktur Eksekutif CSIS, pendiri Jalankaji.net
philips.vermonte@jalankaji.net

Sir George Everest mungkin belum pernah sampai ke kaki gunung ini. Adalah Andrew Scott Waugh, seorang geographer yang merupakan murid Sir George Everest, yang memulai observasi pertama terhadap gunung ini dan menemukan cara untuk menduga ketinggiannya. Ia kemudian bisa menyimpulkan bahwa puncak gunung ini, yang hingga waktu itu hanya disebut sebagai Puncak XV, adalah puncak gunung tertinggi di dunia. Pada Maret 1856, ia mengusulkan kepada Royal Geographical Society agar puncak itu diberi nama Puncak Everest karena dua alasan. Pertama adalah untuk menghormati gurunya itu; kedua karena ia tidak bisa menemukan nama lokal bagi puncak tersebut.
Tentu saja alasan kedua adalah buah dari penarikan kesimpulan yang tergesa-gesa. Ada banyak nama yang diberikan oleh penduduk lokal yang tinggal di daerah-daerah yang mengelilingi rantai pegunungan Himalaya ini. Mereka mengenalnya dengan banyak nama lain, di antaranya adalah Chomolungma, nama yang dikenal oleh Tenzing Norgay, seorang sherpa hebat yang bersama Edmund Hillary menjadi orang-orang pertama yang mencapai Puncak Everest pada 29 Mei 1953.
Read More…
Subuh: Bukan Sekedar Fiksi
18/01/21 13:15 Kategori: Cerpen
OLEH RULLI RACHMAN
Penulis; konsultan strategi perawatan mesin
Bicara soal Turki akan terasa membosankan ketika orang-orang hanya sibuk bicara tentang keindahan dan romantisme Selat Bosporus. Apalagi kalau semua berbicara dengan pilihan diksi yang sama: sunset. Dalam sekejap semua orang akan menjadi pujangga; puisi dan syair akan tercipta ketika melihat panorama matahari tenggelam di Selat yang memisahkan Turki bagian Eropa dan bagian Asia tersebut.
Seorang teman berkelakar, tidak ada hal yang buruk di Turki, katanya. Semuanya indah. Bahkan penjual es krim gerobakan pun memiliki wajah yang rupawan, tak ubahnya pemain sinetron yang sering kita jumpai di layar kaca.
Sebaliknya, Turki jadi terasa begitu getir di buku kumpulan cerita Subuh karya Selahattin Demirtas ini. Seher adalah bahasa Turki untuk kata Subuh. Ketika ditanya perihal pemilihan nama tersebut, Demirtas bilang, "Subuh menandai momen pertama munculnya cahaya dari kegelapan. Kegelapan mengira dirinya abadi, dan persis saat ia percaya dirinya telah mengalahkan terang, subuh memberinya pukulan pertama." Read More…
Penulis; konsultan strategi perawatan mesin

Seorang teman berkelakar, tidak ada hal yang buruk di Turki, katanya. Semuanya indah. Bahkan penjual es krim gerobakan pun memiliki wajah yang rupawan, tak ubahnya pemain sinetron yang sering kita jumpai di layar kaca.
Sebaliknya, Turki jadi terasa begitu getir di buku kumpulan cerita Subuh karya Selahattin Demirtas ini. Seher adalah bahasa Turki untuk kata Subuh. Ketika ditanya perihal pemilihan nama tersebut, Demirtas bilang, "Subuh menandai momen pertama munculnya cahaya dari kegelapan. Kegelapan mengira dirinya abadi, dan persis saat ia percaya dirinya telah mengalahkan terang, subuh memberinya pukulan pertama." Read More…
Books Are Windows And Mirrors
16/01/21 12:04 Kategori: Gambar
OLEH YOSHI ANDRIAN
Freelance illustrator, tinggal di Bali demi keluarga

Freelance illustrator, tinggal di Bali demi keluarga

Maju Musiknya, Bahagia Warganya: Kronika Musik Kota Malang
15/01/21 06:50 Kategori: Musik

Di tulisan itu ia bercerita panjang soal kancah musik alternative rock di Malang sejak era akhir ‘90-an sampai gelombang kibatan gitar indie rock di dekade 2000-an. Dari kiprah band-band seperti Hectic, The Morning After, sampai Beeswax. Cukup panjang, runut dan cermat. Dihimpun dari hasil dari observasi, wawancara, serta riset yang tajam pada setumpuk arsip zine dan media alternatif.
Naskah tersebut adalah salah satu bagian dari buku Ritmekota: Kumpulan Tulisan Musik dari Kota Malang yang diterbitkan oleh Pelangi Sastra (2019). Ritmekota adalah buku antologi yang merekam aneka kisah dari ekosistem musik di Malang. Berisi kumpulan naskah dari dua belas penulis yang berperan sebagai saksi, penggali fakta, dan juga pencerita. Read More…
Perbincangan di JalanKaji.Net
14/01/21 09:44 Kategori: Informasi
Perbincangan Bersama
Dea Anugrah
"Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya"
Dea Anugrah tak cuma menulis cerita dan puisi. Ia pun menghasilkan nonfiksi. Seperti karya fiksinya, banyak esai dan reportase lulusan Filsafat UGM ini juga sukses bikin iri.
Yuk ikuti perbincangan dengannya:
Selasa 19 Januari 2021 | Pukul 19.00 WIB
Zoom: bit.ly/35xV6my
Persembahan JalanKaji.NET
Murakami dan Persimpangan-Persimpangannya
13/01/21 07:29 Kategori: Novel
OLEH RIZKI NAULI SIREGAR
Kandidat Ph.D bidang Ilmu Ekonomi di University of California, Davis.
Inilah buku dengan kehangatan yang mudah dikenali. Kehangatan yang amat khas Murakami: alurnya, deskripsinya akan setiap kejadian, rasa, pengalaman, latar belakangnya, juga karakter-karakternya. Saya bukan bermaksud mengatakan bahwa ini karya yang biasa-biasa saja, justru saya mencoba mengatakan kepada mereka yang memiliki ekspektasi atas sensasi dari membaca Murakami bahwa ini adalah buku yang tepat.
Buku ini juga akan terasa dekat bagi siapa pun yang, seperti Tsukuru tokoh utamanya, memiliki ketertarikan khusus pada stasiun. Mungkin juga ia menarik untuk yang pembaca yang suka dengan magisnya bandara. Tenggelam dalam buku ini di masa pandemi, yang sudah membuat saya harus menunda beberapa rencana perjalanan, mungkin justru membantu saya untuk tersentuh dengan minat Tsukuru akan stasiun, dan mungkin ruang persimpangan lainnya. Read More…
Kandidat Ph.D bidang Ilmu Ekonomi di University of California, Davis.

Buku ini juga akan terasa dekat bagi siapa pun yang, seperti Tsukuru tokoh utamanya, memiliki ketertarikan khusus pada stasiun. Mungkin juga ia menarik untuk yang pembaca yang suka dengan magisnya bandara. Tenggelam dalam buku ini di masa pandemi, yang sudah membuat saya harus menunda beberapa rencana perjalanan, mungkin justru membantu saya untuk tersentuh dengan minat Tsukuru akan stasiun, dan mungkin ruang persimpangan lainnya. Read More…
Mengenal Kretek Lebih Dalam
12/01/21 09:00 Kategori: Budaya
OLEH NURAN WIBISONO
Editor jalankaji.net
nuran.wibisono@jalankaji.net
Sudah berpuluh tahun berlangsung perang antara industri rokok dan industri farmasi. Belum ada tanda-tanda perang ini akan berakhir.
Pada 1998, Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont menulis artikel berjudul “Lies, Damned Lies, & 400.000 Smoking-Relating Deaths” di jurnal Regulation (terbitan The Cato Institute). Levy adalah seorang praktisi hukum dan ekonom serta anggota dari lembaga think tank The Cato Institute. Sebermula dari artikel Levy dan Marimont (1998) itu perang antara industri rokok dan industri farmasi semakin sengit. Ada banyak buku dari kedua belah pihak yang membeberkan data dari berbagai penelitian. Pertikaian ini menghasilkan dua kubu: pendukung rokok dan kubu anti rokok.
Di antara perang yang sengit dan riuh itu, muncul sebuah buku yang melihat rokok dalam perspektif menarik, yaitu sejarah kebudayaan. Judulnya: Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes (selanjutnya disebut Kretek). Penulisnya adalah Mark Hanusz, pria berkebangsaan Swiss, yang juga pendiri dari penerbitan buku kelas premium, Equinox Publishing. Buku ini berhasil menyajikan sebuah gambaran utuh mengenai kretek, budaya Nusantara yang sudah lama ada sebelum gaduh perang industri rokok melawan industri farmasi. Read More…
Editor jalankaji.net
nuran.wibisono@jalankaji.net

Pada 1998, Robert A. Levy dan Rosalind B. Marimont menulis artikel berjudul “Lies, Damned Lies, & 400.000 Smoking-Relating Deaths” di jurnal Regulation (terbitan The Cato Institute). Levy adalah seorang praktisi hukum dan ekonom serta anggota dari lembaga think tank The Cato Institute. Sebermula dari artikel Levy dan Marimont (1998) itu perang antara industri rokok dan industri farmasi semakin sengit. Ada banyak buku dari kedua belah pihak yang membeberkan data dari berbagai penelitian. Pertikaian ini menghasilkan dua kubu: pendukung rokok dan kubu anti rokok.
Di antara perang yang sengit dan riuh itu, muncul sebuah buku yang melihat rokok dalam perspektif menarik, yaitu sejarah kebudayaan. Judulnya: Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes (selanjutnya disebut Kretek). Penulisnya adalah Mark Hanusz, pria berkebangsaan Swiss, yang juga pendiri dari penerbitan buku kelas premium, Equinox Publishing. Buku ini berhasil menyajikan sebuah gambaran utuh mengenai kretek, budaya Nusantara yang sudah lama ada sebelum gaduh perang industri rokok melawan industri farmasi. Read More…
Sejarah Intelektual, Membaca Ignas Kleden
11/01/21 06:15 Kategori: Sosok
OLEH RIWANTO TIRTOSUDARMO
Peneliti independen
Ignas Kleden adalah seorang sosiolog yang sejak sangat muda terdidik dalam filsafat. Sosiologinya karena itu bukanlah yang berurusan dengan penelitian empiris tapi dengan dunia pemikiran yang hampir selalu filosofis. Sosiologi dan filsafatnya bukan sebagai vokasi (keahlian) tetapi sebagai alatnya untuk memahami sejarah pemikiran yang berkembang di dunia dan bangsanya.
Melihat riwayat pendidikan formal Ignas, kecuali S3-nya, selalu filsafat. Yang pertama di STF/TK (Sekolah Tinggi Filsafat/Teologi Katolik) Ledalero, sebuah lembaga untuk mendidik para calon imam Katolik yang letaknya tidak jauh dari tempat kelahirannya, Waibalun, sebuah desa di pinggir laut yang terletak di jalan raya antara Larantuka dan Maumere, Flores. Setelah pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai editor di Yayasan Obor dan Prisma, di samping sebagai kolumnis yang produktif, kemudian melanjutkan studi filsafatnya (S2) di Muenchen dan sosiologi (S3) di Bielefeld, keduanya di Jerman, sebuah negeri dimana filsafat mungkin berkembang paling subur setelah sebelumnya benih filsafat tumbuh di Yunani. Read More…
Peneliti independen

Melihat riwayat pendidikan formal Ignas, kecuali S3-nya, selalu filsafat. Yang pertama di STF/TK (Sekolah Tinggi Filsafat/Teologi Katolik) Ledalero, sebuah lembaga untuk mendidik para calon imam Katolik yang letaknya tidak jauh dari tempat kelahirannya, Waibalun, sebuah desa di pinggir laut yang terletak di jalan raya antara Larantuka dan Maumere, Flores. Setelah pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai editor di Yayasan Obor dan Prisma, di samping sebagai kolumnis yang produktif, kemudian melanjutkan studi filsafatnya (S2) di Muenchen dan sosiologi (S3) di Bielefeld, keduanya di Jerman, sebuah negeri dimana filsafat mungkin berkembang paling subur setelah sebelumnya benih filsafat tumbuh di Yunani. Read More…
Cinta-Cinta Yang Kandas
08/01/21 09:36 Kategori: Cerpen
OLEH ANWAR HOLID
Editor dan penulis, tinggal di Bandung
Blog: halamanganjil.blogspot.com
Men Without Women adalah kumpulan cerpen karya Haruki Murakami, penulis kontemporer Jepang yang paling dielu-elukan, setidaknya selama dua dekade terakhir ini. Aslinya rilis tahun 2014, buku ini terbit edisi bahasa Inggrisnya tiga tahun kemudian. Berisi tujuh cerita dengan tebal 228 halaman menunjukkan bahwa kumpulan cerpen di buku ini berjenis 'long short-story', jenis bacaan yang menawarkan kompleksitas lebih dibandingkan cerpen biasa.
Pada dasarnya semua cerpen di buku ini mengungkapkan cerita-cerita cinta yang ambyar. Hanya saja Murakami menuturkannya dengan memukau, meliuk-liuk, dan tidak cengeng. Mungkin cinta — bercampur dengan rasa sayang dan nafsu — bukan sesuatu yang sederhana, karena melibatkan pergolakan psikologi dalam diri karakter karakternya. Read More…
Editor dan penulis, tinggal di Bandung
Blog: halamanganjil.blogspot.com

Pada dasarnya semua cerpen di buku ini mengungkapkan cerita-cerita cinta yang ambyar. Hanya saja Murakami menuturkannya dengan memukau, meliuk-liuk, dan tidak cengeng. Mungkin cinta — bercampur dengan rasa sayang dan nafsu — bukan sesuatu yang sederhana, karena melibatkan pergolakan psikologi dalam diri karakter karakternya. Read More…
Achmad Mochtar Sang Perintis Penelitian Biomedis Nusantara
06/01/21 07:27 Kategori: Kedokteran
OLEH SUDIRMAN NASIR
Alumnus Fakultas Kedokteran, Mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin; Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)
Banyak ilmuwan biomedis, dokter, dan tenaga kesehatan Indonesia kini tengah berjibaku menghadapi COVID-19, termasuk mengupayakan penemuan vaksin untuk mengatasi pandemi ini atau penemuan metode agar kepatuhan terhadap protokol kesehatan semakin meningkat. Tak banyak di antara ilmuwan dan profesional kesehatan itu yang masih mengenal sebuah nama besar, Professor Achmad Mochtar, seorang perintis penelitian biomedis di Nusantara. Mochtar, ilmuwan dan dokter dengan reputasi dunia, direktur pertama berkebangsaan Indonesia di Lembaga Eijkman (lembaga penelitian biologi yang didirikan di Batavia pada masa pemerintahan kolonial Belanda), yang nasibnya tragis.
Read More…
Alumnus Fakultas Kedokteran, Mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin; Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)

Read More…
Antara Konservatisme dan Beragama à la Bandit Saints
05/01/21 06:05 Kategori: Antropologi
OLEH TAUFIQ RAHMAN
Pemimpin Redaksi the Jakarta Post; editor jalankaji.net
taufiq.rahman@jalankaji.net
Sudah banyak pihak yang menyalakan tanda bahaya tentang “Islamist turn”, bahwa Indonesia kini sudah menjadi tempat yang konservatif, puritan dan tempat yang tidak ramah bagi kalangan minoritas. Apalagi jika Anda membaca pemberitaan media massa atau doomscrolling di media sosial, di mana kolom berita dan linimasa penuh riuh rendah kemarahan dan keputusasaan soal merajalelanya tindakan intoleransi, penutupan tempat ibadah agama minoritas dan pelarangan hal-hal yang berwarna tradisi atau yang terlalu Barat.
Obsesi pemerintah dan masyarakat terhadap Front Pembela Islam (FPI) beberapa bulan ini bisa menjadi semacam indikasi bagi adanya kekhawatiran soal meluasnya pengaruh Islam yang puritan, Islam “Timur Tengah,” atau gerakan Islam konservatif yang bisa menisbikan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Read More…
Pemimpin Redaksi the Jakarta Post; editor jalankaji.net
taufiq.rahman@jalankaji.net
Sudah banyak pihak yang menyalakan tanda bahaya tentang “Islamist turn”, bahwa Indonesia kini sudah menjadi tempat yang konservatif, puritan dan tempat yang tidak ramah bagi kalangan minoritas. Apalagi jika Anda membaca pemberitaan media massa atau doomscrolling di media sosial, di mana kolom berita dan linimasa penuh riuh rendah kemarahan dan keputusasaan soal merajalelanya tindakan intoleransi, penutupan tempat ibadah agama minoritas dan pelarangan hal-hal yang berwarna tradisi atau yang terlalu Barat.
Obsesi pemerintah dan masyarakat terhadap Front Pembela Islam (FPI) beberapa bulan ini bisa menjadi semacam indikasi bagi adanya kekhawatiran soal meluasnya pengaruh Islam yang puritan, Islam “Timur Tengah,” atau gerakan Islam konservatif yang bisa menisbikan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Read More…
Hal-Hal Mendasar Dalam Menjaga Demokrasi
04/01/21 06:27 Kategori: Politik
OLEH NOORY OKTHARIZA
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Pada medio 1980an–1990an, literatur politik perbandingan di negara-negara berkembang dipenuhi dengan tema-tema politik yang bersifat transisional. Muncul istilah-istilah beken seperti transisi demokrasi, ‘gelombang ketiga’ demokratisasi, dan konsolidasi demokrasi. Istilah ini pada dasarnya ingin menunjukkan bahwa telah terjadi pergesaran sistem politik yang cukup berarti dari negara-negara berkembang menuju model yang lebih terbuka dan kompetitif. Buku yang banyak jadi rujukan misalnya yang ditulis Juan Linz dan Alfred Stepan: Problems of democratic transition and consolidation (1996). Keduanya berbicara soal proses transisi yang terjadi di negara-negara di Eropa Selatan, Eropa Timur, dan Amerika Selatan. Read More…
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS

Mematahkan Mitos Pribumi Malas
01/01/21 08:03 Kategori: Antropologi
OLEH PURI K.P
Bekerja di Accenture Kuala Lumpur; editor jalankaji
puri.kp@jalankaji.net
| |
Februari 2020, sepekan setelah saya menetap di Kuala Lumpur, saya bertanya kepada salah satu teman asli kota ini, “What is the best book that I can read to understand better this country?” Dengan mantap ia menjawab, “You should read the book of Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native. The book is old, yet still important to be highlighted until now.” Ia berusaha meyakinkan saya untuk membaca buku itu, karena the Myth akan membawa banyak pemahaman penting tentang persepsi bangsa non Asia – semenjak masa kolonial hingga sekarang, khususnya mengapa cap pemalas selalu diberikan sebagai karakteristik tiga ras serumpun: Melayu, Jawa, dan Filipina – yang sebenarnya amat bisa dipatahkan, dan yang terpenting – mengapa sulit bagi Malaysia untuk membangun identitas ke-Malaysiaan-nya.
The Myth of the Lazy Native terhitung buku langka dan sulit ditemukan di toko buku utama di Malaysia. Tapi seperti laiknya benda-benda lama yang kembali populer sekarang, saya kembali menemukannya di sebuah toko buku indie di Kuala Lumpur.
Pada 12 babnya, Syed Hussein Alatas memberikan kritik meluas terkait konstruksi dan praktik kolonial kepada suku Melayu, Jawa, dan Filipina. Kritik utamanya diberikan kepada bentuk kapitalisme kolonial yang coba dirancang dan dibangun serta realitanya diberikan kepada wilayah jajahan mereka. Tentu saja, dengan intensi agar kepentingan kolonial dalam roda-roda kapitalisme terus bertahan, dan relasi kuasa antara penjajah dan jajahannya langgeng. Read More…
Bekerja di Accenture Kuala Lumpur; editor jalankaji
puri.kp@jalankaji.net
| |

The Myth of the Lazy Native terhitung buku langka dan sulit ditemukan di toko buku utama di Malaysia. Tapi seperti laiknya benda-benda lama yang kembali populer sekarang, saya kembali menemukannya di sebuah toko buku indie di Kuala Lumpur.
Pada 12 babnya, Syed Hussein Alatas memberikan kritik meluas terkait konstruksi dan praktik kolonial kepada suku Melayu, Jawa, dan Filipina. Kritik utamanya diberikan kepada bentuk kapitalisme kolonial yang coba dirancang dan dibangun serta realitanya diberikan kepada wilayah jajahan mereka. Tentu saja, dengan intensi agar kepentingan kolonial dalam roda-roda kapitalisme terus bertahan, dan relasi kuasa antara penjajah dan jajahannya langgeng. Read More…