Kisah-Kisah Perdagangan Paling Gemilang
22/12/20 06:34 Kategori: Buku Favorit Editor 2020
OLEH PHILIPS VERMONTE
Direktur Eksekutif CSIS, pendiri jalankaji.net
philips.vermonte@jalankaji.net
| |
Tahun 2020 adalah tahun mencekam, annus horribilis. Banyak hati mengkerut dan semangat yang pupus karena ketidakpastian dan juga karena anxiety yang dimunculkan oleh wabah yang disebabkan oleh virus COVID-19 yang tak kasat mata namun mematikan ini. Rasa was-was menghinggapi banyak orang. Bukan hanya karena kita seperti sedang berjudi roullette Rusia bersiap menunggu giliran terekspose pada virus yang fatal itu, tetapi juga karena konsekuensi bawaannya di luar urusan kesehatan. Situasi ekonomi yang memburuk mengancam nafkah bagi karyawan atau mengancam kelangsungan usaha. Serba murung ini berlaku untuk semua, tidak peduli apakah anda staf atau pimpinan, pengusaha atau karyawan.
Bila Anda kebetulan berada pada posisi manajerial di tempat kerja, selama pandemi yang mentorpedo banyak rencana kerja yang telah disusun di tahun sebelumnya, pasti Anda harus melihat seluruh problematika dan konsekuensinya pada kantor Anda secara helicopter view. Otomatis tekanan pada diri Anda bertambah. Apalagi, seiring dengan kewajiban untuk harus memikirkan nasib banyak orang dan masa depan kantor Anda itu, mungkin Anda juga harus memikirkan kekhawatiran dan persoalan pribadi Anda sendiri. Singkat kata: tahun 2020 adalah tahun yang tidak biasa, melelahkan, memusingkan, dan sangat mengkhawatirkan.
Maka dari itu, setakar atau dua takar humor jelas diperlukan. Kata orang Barat: to laugh is the best medicine. Tertawa adalah obat terbaik. Di masa work from home yang panjang, saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan, paling tidak di kota Jakarta, sepanjang bulan Maret hingga Juni, berdiam diri di rumah sepanjang hari menghabiskan stok wine atau sake seharian bukanlah pilihan yang sehat. Mungkin itu akan lebih berbahaya daripada terkontraksi virus yang vaksinnya, hingga tulisan ini saya buat, masih ditunggu laporan perbaikan tingkat efficacy-nya.
Alternatif paling sehat adalah membaca kumpulan cerpen bertajuk Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang karya Ben Sohib, yang diterbitkan pada Februari 2020, tepat sebelum pandemi menerjang kita. Ben Sohib adalah penulis yang pernah mengenyam studi jurnalistik, namun tampaknya ia lebih banyak menghabiskan waktu sebagai vokalis band underground. Dua latar belakang itu tampaknya yang menjadikan cara bertuturnya yang mengalir dan bisa menangkap percakapan sehari-hari tanpa polesan.
Tokoh-tokoh utama dalam cerpen-cerpen dalam buku ini berlatar belakang Arab Betawi, yang ceplas-ceplos, terkadang lugu, dan lucu. Kisah-kisah dalam cerpen ini menyelipkan banyak tikungan yang tak terduga-duga, plot twists, sukses membuat pembaca meringis ikut menyesali, dan bersimpati, pada nasib sial tokoh-tokoh yang diceritakan.
Coba tengok salah satu kisah dalam buku ini, “Si Dulah di Toko Bang Rizal” yang diawali dengan cerita mengenai seorang wartawan yang barusan dimaki redakturnya karena si wartawan merasa dirinya amat hebat telah mampu menembus kerumunan di sebuah lokasi kecelakaan. Lalu ia menulis reportase panjang mengenai korban kecelakaan itu, yang menurut makian kesal sang redaktur: “si korban… bahkan mungkin tetangga sebelah rumah pun tak mengenalnya.”
Namun, si wartawan dengan keras kepala mengulangi ‘kepiawaiannya” menembus kerumunan manusia untuk menuliskan reportase, lantas diceritakan seperti berikut ini:
“Sama seperti kejadian yang pertama, pagi itu ia menggunakan cara andalannya untuk menembus kerumunan orang. “Minggir! Minggir! Kasih jalan! Kasih Jalan! Saya saudaranya! Saya Saudaranya…!” ia berteriak. Orang-orang terkejut dan menoleh mencari sumber suara. Temanku terus berteriak sambil merangsek maju ke depan, ingin segera melihat kondisi si korban. Ia menemukan seekor anjing herder besar – entah bagaimana bisa terlepas dari tuannya lalu tertabrak mobil – sedang sekarat. Setelah peristiwa itu, temanku berhenti menjadi wartawan.”
Ben Sohib juga mengajak kita merenung, sambil terkekeh sedikit, mengenai agama. Seperti pada salah satu cerpen yang mengisahkan bagaimana seorang tokoh cerita bernama Nasrul Marhaban meninggal dunia terseret arus saat banjir besar melanda Kampung Melayu Pulo yang terletak di tepi sungai Ciliwung.
Nasrul Marhaban semasa hidupnya tidak dikenal sebagai orang yang taat. Namun, disaksikan banyak orang, ia terseret arus saat nekat terjun ke air yang mengalir deras untuk menyelamatkan bungkusan plastik berisi Al Quran yang terlepas dari dekapannya. Sejak itu, kisah Nasrul Marhaban selalu disebut-sebut secara khidmat dalam mimbar-mimbar ceramah di Kampung Melayu Pulo. Hanya Emeh istrinya yang tahu bahwa di malam sebelum kejadian itu Nasrul Marhaban baru saja menyimpan uang gaji bulanannya di antara lembar-lembar kitab Al Quran itu, sebuah kebiasaan yang telah dilakukannya sejak lama. Saya tertawa getir sendirian membaca paragraf terakhir pengakuan istri Nasrul Marhaban itu.
Cerita mengenai masyarakat Betawi yang sekarang semakin tersingkirkan dari pusat kota, semakin ke pinggir dan bahkan keluar kota Jakarta, selalu melibatkan kisah bujuk rayu makelar tanah dan properti kepada masyarakat Betawi yang lugu untuk menjual tanah atau rumah mereka. Kisah-kisah klasik bujuk rayu para makelar yang terserak di dalam cerpen-cerpen dalam buku ini sejatinya merekam sejarah panjang masyarakat Betawi yang tersingkir dari tanah-tanahnya sejak tiga atau empat dekade terakhir. Ben Sohib secara tidak langsung menceritakan kepahitan yang mungkin dirasakan masyarakat Betawi di balik gemerlap gedung-gedung megah di se-antero kota Jakarta, juga di balik kluster-kluster perumahan asri dan permai yang membentuk gated community di sekeliling ibukota.
Sejak Majalah Humor wafat beberapa tahun lalu, genre humor dalam dunia tulis menulis di Indonesia relatif meredup. Ben Sohib sepertinya amat potensial untuk meramaikan kembali genre itu, yang mungkin diperlukan banyak orang yang semakin hari semakin sulit menemukan alasan untuk bisa tertawa, dan yang juga semakin sulit untuk menertawakan diri sendiri karena masyarakat kita yang sumbunya semakin pendek.
Membaca Kisah-Kisah Perdagangan Paling Gemilang di tengah pandemi melipatgandakan produksi serotonin dan dopamin yang menurut banyak ahli kesehatan akan menimbulkan perasaan gembira, sedikit bisa mengatasi kemurungan dan kesedihan yang antara lain disebabkan terlalu banyak membaca warta lelayu di laman-laman media sosial yang berseliweran sepanjang tahun 2020. Baik warta lelayu mengenai orang-orang yang kita kenal atau yang tidak kita kenal sama sekali.
Direktur Eksekutif CSIS, pendiri jalankaji.net
philips.vermonte@jalankaji.net
Tahun 2020 akan segera berakhir. Beberapa hari ke depan, kami akan memuat tulisan-tulisan ringkas dari para editor di jalankaji.net mengenai buku favorit yang mereka baca selama tahun 2020 di tengah masa pandemi ini.
Redaksi Jalankaji.net
| |
Tahun 2020 adalah tahun mencekam, annus horribilis. Banyak hati mengkerut dan semangat yang pupus karena ketidakpastian dan juga karena anxiety yang dimunculkan oleh wabah yang disebabkan oleh virus COVID-19 yang tak kasat mata namun mematikan ini. Rasa was-was menghinggapi banyak orang. Bukan hanya karena kita seperti sedang berjudi roullette Rusia bersiap menunggu giliran terekspose pada virus yang fatal itu, tetapi juga karena konsekuensi bawaannya di luar urusan kesehatan. Situasi ekonomi yang memburuk mengancam nafkah bagi karyawan atau mengancam kelangsungan usaha. Serba murung ini berlaku untuk semua, tidak peduli apakah anda staf atau pimpinan, pengusaha atau karyawan.
Bila Anda kebetulan berada pada posisi manajerial di tempat kerja, selama pandemi yang mentorpedo banyak rencana kerja yang telah disusun di tahun sebelumnya, pasti Anda harus melihat seluruh problematika dan konsekuensinya pada kantor Anda secara helicopter view. Otomatis tekanan pada diri Anda bertambah. Apalagi, seiring dengan kewajiban untuk harus memikirkan nasib banyak orang dan masa depan kantor Anda itu, mungkin Anda juga harus memikirkan kekhawatiran dan persoalan pribadi Anda sendiri. Singkat kata: tahun 2020 adalah tahun yang tidak biasa, melelahkan, memusingkan, dan sangat mengkhawatirkan.
Maka dari itu, setakar atau dua takar humor jelas diperlukan. Kata orang Barat: to laugh is the best medicine. Tertawa adalah obat terbaik. Di masa work from home yang panjang, saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan, paling tidak di kota Jakarta, sepanjang bulan Maret hingga Juni, berdiam diri di rumah sepanjang hari menghabiskan stok wine atau sake seharian bukanlah pilihan yang sehat. Mungkin itu akan lebih berbahaya daripada terkontraksi virus yang vaksinnya, hingga tulisan ini saya buat, masih ditunggu laporan perbaikan tingkat efficacy-nya.
Alternatif paling sehat adalah membaca kumpulan cerpen bertajuk Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang karya Ben Sohib, yang diterbitkan pada Februari 2020, tepat sebelum pandemi menerjang kita. Ben Sohib adalah penulis yang pernah mengenyam studi jurnalistik, namun tampaknya ia lebih banyak menghabiskan waktu sebagai vokalis band underground. Dua latar belakang itu tampaknya yang menjadikan cara bertuturnya yang mengalir dan bisa menangkap percakapan sehari-hari tanpa polesan.
Tokoh-tokoh utama dalam cerpen-cerpen dalam buku ini berlatar belakang Arab Betawi, yang ceplas-ceplos, terkadang lugu, dan lucu. Kisah-kisah dalam cerpen ini menyelipkan banyak tikungan yang tak terduga-duga, plot twists, sukses membuat pembaca meringis ikut menyesali, dan bersimpati, pada nasib sial tokoh-tokoh yang diceritakan.
Coba tengok salah satu kisah dalam buku ini, “Si Dulah di Toko Bang Rizal” yang diawali dengan cerita mengenai seorang wartawan yang barusan dimaki redakturnya karena si wartawan merasa dirinya amat hebat telah mampu menembus kerumunan di sebuah lokasi kecelakaan. Lalu ia menulis reportase panjang mengenai korban kecelakaan itu, yang menurut makian kesal sang redaktur: “si korban… bahkan mungkin tetangga sebelah rumah pun tak mengenalnya.”
Kisah-kisah dalam cerpen ini menyelipkan banyak tikungan yang tak terduga-duga, plot twists, sukses membuat pembaca meringis ikut menyesali, dan bersimpati, pada nasib sial tokoh-tokoh yang diceritakan
Namun, si wartawan dengan keras kepala mengulangi ‘kepiawaiannya” menembus kerumunan manusia untuk menuliskan reportase, lantas diceritakan seperti berikut ini:
“Sama seperti kejadian yang pertama, pagi itu ia menggunakan cara andalannya untuk menembus kerumunan orang. “Minggir! Minggir! Kasih jalan! Kasih Jalan! Saya saudaranya! Saya Saudaranya…!” ia berteriak. Orang-orang terkejut dan menoleh mencari sumber suara. Temanku terus berteriak sambil merangsek maju ke depan, ingin segera melihat kondisi si korban. Ia menemukan seekor anjing herder besar – entah bagaimana bisa terlepas dari tuannya lalu tertabrak mobil – sedang sekarat. Setelah peristiwa itu, temanku berhenti menjadi wartawan.”
Ben Sohib juga mengajak kita merenung, sambil terkekeh sedikit, mengenai agama. Seperti pada salah satu cerpen yang mengisahkan bagaimana seorang tokoh cerita bernama Nasrul Marhaban meninggal dunia terseret arus saat banjir besar melanda Kampung Melayu Pulo yang terletak di tepi sungai Ciliwung.
Nasrul Marhaban semasa hidupnya tidak dikenal sebagai orang yang taat. Namun, disaksikan banyak orang, ia terseret arus saat nekat terjun ke air yang mengalir deras untuk menyelamatkan bungkusan plastik berisi Al Quran yang terlepas dari dekapannya. Sejak itu, kisah Nasrul Marhaban selalu disebut-sebut secara khidmat dalam mimbar-mimbar ceramah di Kampung Melayu Pulo. Hanya Emeh istrinya yang tahu bahwa di malam sebelum kejadian itu Nasrul Marhaban baru saja menyimpan uang gaji bulanannya di antara lembar-lembar kitab Al Quran itu, sebuah kebiasaan yang telah dilakukannya sejak lama. Saya tertawa getir sendirian membaca paragraf terakhir pengakuan istri Nasrul Marhaban itu.
Cerita mengenai masyarakat Betawi yang sekarang semakin tersingkirkan dari pusat kota, semakin ke pinggir dan bahkan keluar kota Jakarta, selalu melibatkan kisah bujuk rayu makelar tanah dan properti kepada masyarakat Betawi yang lugu untuk menjual tanah atau rumah mereka. Kisah-kisah klasik bujuk rayu para makelar yang terserak di dalam cerpen-cerpen dalam buku ini sejatinya merekam sejarah panjang masyarakat Betawi yang tersingkir dari tanah-tanahnya sejak tiga atau empat dekade terakhir. Ben Sohib secara tidak langsung menceritakan kepahitan yang mungkin dirasakan masyarakat Betawi di balik gemerlap gedung-gedung megah di se-antero kota Jakarta, juga di balik kluster-kluster perumahan asri dan permai yang membentuk gated community di sekeliling ibukota.
Sejak Majalah Humor wafat beberapa tahun lalu, genre humor dalam dunia tulis menulis di Indonesia relatif meredup. Ben Sohib sepertinya amat potensial untuk meramaikan kembali genre itu, yang mungkin diperlukan banyak orang yang semakin hari semakin sulit menemukan alasan untuk bisa tertawa, dan yang juga semakin sulit untuk menertawakan diri sendiri karena masyarakat kita yang sumbunya semakin pendek.
Membaca Kisah-Kisah Perdagangan Paling Gemilang di tengah pandemi melipatgandakan produksi serotonin dan dopamin yang menurut banyak ahli kesehatan akan menimbulkan perasaan gembira, sedikit bisa mengatasi kemurungan dan kesedihan yang antara lain disebabkan terlalu banyak membaca warta lelayu di laman-laman media sosial yang berseliweran sepanjang tahun 2020. Baik warta lelayu mengenai orang-orang yang kita kenal atau yang tidak kita kenal sama sekali.
Info Buku:
Judul: Kisah-Kisah Perdagangan Paling Gemilang
Penulis: Ben Sohib
Penerbit: Banana, 2020
Tebal : 124 halaman
ISBN: -