For the Love of Books

Mematahkan Mitos Pribumi Malas


OLEH PURI K.P

Bekerja di Accenture Kuala Lumpur; editor jalankaji
puri.kp@jalankaji.net


| |


the myth of lazy native
Februari 2020, sepekan setelah saya menetap di Kuala Lumpur, saya bertanya kepada salah satu teman asli kota ini, “What is the best book that I can read to understand better this country?” Dengan mantap ia menjawab, “You should read the book of Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native. The book is old, yet still important to be highlighted until now.” Ia berusaha meyakinkan saya untuk membaca buku itu, karena the Myth akan membawa banyak pemahaman penting tentang persepsi bangsa non Asia – semenjak masa kolonial hingga sekarang, khususnya mengapa cap pemalas selalu diberikan sebagai karakteristik tiga ras serumpun: Melayu, Jawa, dan Filipina – yang sebenarnya amat bisa dipatahkan, dan yang terpenting – mengapa sulit bagi Malaysia untuk membangun identitas ke-Malaysiaan-nya.

The Myth of the Lazy Native terhitung buku langka dan sulit ditemukan di toko buku utama di Malaysia. Tapi seperti laiknya benda-benda lama yang kembali populer sekarang, saya kembali menemukannya di sebuah toko buku indie di Kuala Lumpur.

Pada 12 babnya, Syed Hussein Alatas memberikan kritik meluas terkait konstruksi dan praktik kolonial kepada suku Melayu, Jawa, dan Filipina. Kritik utamanya diberikan kepada bentuk kapitalisme kolonial yang coba dirancang dan dibangun serta realitanya diberikan kepada wilayah jajahan mereka. Tentu saja, dengan intensi agar kepentingan kolonial dalam roda-roda kapitalisme terus bertahan, dan relasi kuasa antara penjajah dan jajahannya langgeng.

Dalam rentang abad ke-16 dan 20, kolonialisme memiliki narasi yang begitu kuat, dan narasi itu terus menerus diproduksi sebagai sumber pengetahuan kolonial untuk memahami karakteristik wilayah jajahannya. Malas dan pemalas menjadi suatu karakter dominan yang melekat kepada kita, tiga ras serumpun ini, dan bertahan menjadi suatu obyek studi yang cukup digemari oleh mereka yang mengembangkan kajian kolonialisme.

Alatas menilai bahwa pemerintah kolonial – yang ia rujuk sebagai kolonial Portugis, Belanda, Inggris dan Spanyol—telah banyak menghalangi akses dan hak dari masyarakat asli Melayu, Jawa, dan Filipina dalam menikmati teknologi yang dikembangkan oleh peradaban Barat. Di saat bersamaan, pemerintah kolonial telah menghancurkan sistem perdagangan yang dibangun di wilayah Asia Tenggara, sehingga dominasi dan monopoli politik kolonial semakin menguat. Menariknya, dan seperti sudah sepatutnya kita berpikir hal serupa dengan Alatas, jika praktik kolonial tidak eksis, maka bentuk peradaban Asia Tenggara melalui jalur perdagangan internasional yang telah terhubung akan bertahan dan memiliki karakteristiknya sendiri di kawasan ini.

Tapi nasib berkata lain. Struktur kolonial yang bertahan dalam bentuk ideologi, kekuasaan, dan sistem ekonomi selama empat abad di tenggara Asia sedikit banyak diuntungkan dari kondisi kondisi persaingan, fragmentasi kepentingan dan politik, serta ketidakstabilan yang mewujud dalam berbagai pertempuran panjang antar kerajaan di Asia Tenggara. Kondisi ini memungkinkan kontrol politik dapat dikendalikan oleh sentimen kolonial. Struktur sosial yang melekat di ras Jawa, Melayu, dan Filipina tereduksi sedemikian rupa menjadi dua posisi biner belaka: kelas petani dan si penjajah.

"Alatas menilai bahwa pemerintah kolonial – yang ia rujuk sebagai kolonial Portugis, Belanda, Inggris dan Spanyol—telah banyak menghalangi akses dan hak dari masyarakat asli Melayu, Jawa, dan Filipina dalam menikmati teknologi yang dikembangkan oleh peradaban Barat"


Kendali kuasa menjadi kunci untuk menciptakan narasi yang sedikit banyak memengaruhi ide penjajahan dengan tetap mempertahankan stigma bahwa rasa malas yang dimiliki ras Melayu, Jawa, dan Filipina adalah sesuatu yang melekat dan tidak bisa diubah. Oleh karenanya, ketiga ras ini tidak mungkin hidup merdeka tanpa bantuan dan ‘kebaikan’ kolonialis.

Pendekatan sosial antropologis juga digunakan Alatas untuk memeriksa mengapa ras Jawa dan Melayu kerap dituduh malas dalam kerja-kerja kebun yang melibatkan ras China. Alatas menemukan jawabannya: stigma yang juga turut bertahan bahwa ras China adalah ras yang diuntungkan dari keberadaan kolonialisme baik secara status sosial dan utamanya ekonomi. Atau mengapa ras Melayu terlihat malas untuk menggarap tanah yang tersedia di sekitar mereka? Alatas menjawab: karena ras Melayu juga memiliki tafsir yang berbeda bagaimana alam digunakan untuk memenuhi kebutuhan primernya.

Jika bentuk kerja tidak sesuai dengan apa yang mereka (baca: ras Melayu) bayangkan, maka mereka bisa dengan mudah untuk tidak mengerjakannya. Namun hal serupa tidak bisa dilakukan oleh ratusan ribu ras minoritas lain seperti India dan China. Mereka dibawa masuk ke wilayah kawasan Asia Tenggara sebagai pekerja kontrak, dan seringkali berhadapan dengan situasi yang jauh lebih buruk di kampung halaman. Banyak dari mereka bekerja sampai mati hingga kondisi mengenaskan sebelum hutang hutang mereka dapat dilunasi. Kolonialis secara taktis memberikan predikat “rajin” (industrious) kepada kedua ras China dan India ini.

Filipina banyak ditampilkan dengan pengalaman Jose Rizal yang gigih membela hak hak ras Filipina. Sebagaimana disarikan Alatas dari buku Rizal berjudul La Solidaridad (1890), Rizal mematahkan stigma pemalas kepada ras Filipina dengan menekankan,

“Orang-orang Eropa yang sering menuduh para koloni dengan cap lamban dan malas (saya tidak lagi mengacu pada orang-orang Spanyol, tapi juga orang orang Jerman dan Inggris), [lihat] bagaimana mereka hidup di negara negara tropis? Dikelilingi banyak pelayan, tidak pernah berjalan, selalu naik kuda; mereka membutuhkan banyak pelayan tidak hanya untuk melepaskan sepatu mereka, tapi juga untuk mengipasi mereka! Walau bagaimanapun mereka (kolonialis), hidup dan bekerja untuk kebahagiaan mereka, memperkaya diri sendiri, dengan harapan masa depan yang bebas dan dihormati masyarakat; sedangkan para koloni jajahannya hidup miskin tanpa harapan, kurang makan, harus bekerja keras untuk orang lain, dipaksa untuk bekerja bagi orang lain!”

Amat terasa emosi Jose Rizal yang tidak terbendung ketika menyampaikannya.

Bentuk kemalasan yang muncul dibaca oleh Alatas sebagai strategi perlawanan ras Jawa, Melayu dan Filipina untuk menghadapi pemerintah kolonial. Namun strategi ini ternyata tidak cukup efektif, khususnya ketika Alatas menemukan faktor penghalang internal lainnya. Memasuki abad ke-19, kaum kolonialis mencatat bahwa perilaku dekaden, korup, dan gemar menindas juga menjadi praktik inheren dari penguasa lokal Melayu. Praktik tersebut telah dilakukan turun temurun oleh anak cucu raja dan sultan.

Kondisi ini digunakan oleh pemerintah kolonial dengan membuat sejumlah aturan yang membatasi hingga melarang raja-raja lokal di kawasan untuk melakukan hubungan diplomatik, mengelola ekonomi mandiri. Bahkan tanpa disadari oleh raja-raja lokal Melayu, pemerintah kolonial juga memangkas fungsi apapun yang membedakan kelas sosial mereka dengan kelas yang lebih rendah yang dulu sebenarnya sangat mereka nikmati. Dekadensi ini akhirnya melekat hingga kini, setidaknya di Malaysia.

Alatas yang juga berkebangsaan Malaysia melihat bahwa kemerdekaan yang mereka raih dari pemerintah kolonial terasa semu, akibat transisi kekuasaan tanpa proses pertumpahan darah seperti laiknya Indonesia. Ia juga menambahkan transisi kekuasaan dan bentuk kemerdekaan yang terberi ini mengakibatkan ketiadaan demarkasi ideologi yang jelas antara elit kolonial lama dengan elit lokal Malaysia yang menggantikan struktur kekuasaan. Poin ini akan membawa kita kepada situasi identitas keMalaysiaan terutama.

Citra ras Melayu yang malas serta kalah saing dengan ras minoritas lainnya—khususnya China dan India di Malaysia—menyebabkan pemerintah yang didominasi oleh etnis Melayu harus memilih untuk melindungi kepentingan ras Melayu di sini. Mungkin benar kiranya, ketergantungan Malaysia pada tenaga kerja migran adalah bentuk peninggalan pembelahan sistem kolonial. Tapi buat saya yang baru hampir setahun tinggal menetap di sini, buku yang disusun empat dekade lalu masih terasa aktual, terutama ketika saya benar-benar memerhatikan lingkungan sekitar, media, dan media sosial di Malaysia. Secara implisit ‘keunggulan’ ras Melayu akan sangat terlihat dalam posisi posisi kunci di pemerintahan, ekonomi, sosial.

Sesuatu yang buruk, jika tidak benar-benar dipatahkan, maka sepertinya akan terus terasa buruk. Setidaknya itulah yang bisa saya rasakan setelah duduk, membaca, dan mendiskusikan karya Alatas dengan kawan Malaysia saya.
Info Buku:


Judul: The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism
Penulis: Syed Hussein Alatas
Penerbit: Routledge, London; 1977
Tebal : 259 halaman
ISBN: 978-0-7146-3050-2