Sabda dari Surga
19/11/20 08:04 Kategori: Antropologi | Etnomusikologi
OLEH ERWINTON SIMATUPANG
Peneliti Populi Center
| |
Beberapa dekade selepas Nommensen mengabarkan Injil di Tanah Batak, Sitor Situmorang menulis cerpen "Ibu Pergi ke Sorga". Di dalamnya, kita bersua dengan satu keluarga Batak Kristen, akan tetapi memiliki pandangan yang berbeda terhadap agama itu: seorang anak lelaki yang sudah enggan bersentuhan dengan agama; ibu yang rutin ke gereja dan mengikuti kegiatan agama; dan bapak yang tampaknya belum beranjak dari praktik Parmalim, sekalipun sudah dibaptis menjadi seorang Kristen.
Jika Sitor Situmorang secara terang benderang menggambarkan sikap si anak dan ibu terhadap agama, ia justru secara samar-samar, atau tidak terlalu gamblang, mengilustrasikan keyakinan si bapak. Dalam benak orang Batak (Toba), khususnya mereka yang sudah berafiliasi dengan agama di luar Parmalim, (penganut) agama Parmalim acap kali digambarkan dengan takhayul, mantra, dan makan sirih. Dan Sitor Situmorang mendeskripsikan si bapak persis seperti itu:
"Ia (baca: bapak) masih mengucapkan mantera kalau ada kejadian istimewa dengan diri atau keluarganya... Ia duduk sendirian di sudut ruangan dalam yang besar sambil menumbuk sirihnya di lesung kecil dibuat dari perak".
Cerpen Sitor Situmorang itu setidak-tidaknya memperlihatkan bahwa kedatangan Kristen di Tanah Batak tidak seutuhnya menggilas Parmalim. Sekalipun gereja-gereja tegak berdiri dan lantunan doa-doa dipanjatkan setiap Minggu, masih ada orang-orang yang tidak meninggalkan Parmalim. Bahkan, walaupun sudah dipermandikan menjadi Kristen, terdapat orang-orang yang tetap melaksanakan praktik Parmalim, seperti si bapak dalam cerpen Sitor Situmorang. "Bapak kalau di gereja diberi juga tempat istimewa dekat pendeta, di atas kursi besar menghadap jemaat, sebab ia orang yang dirajakan, pun sebelum zending dan kompeni datang..." tambah Sitor Situmorang.
Sitor Situmorang tentu saja tidak sendirian. Pada 2016, Irwansyah Harahap mempublikasikan hasil penelitiannya di Desa Hutatinggi Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, menjadi sebuah buku berjudul "Hata Ni Debata". Di buku ini, jebolan University of Wellington, Seattle, Amerika Serikat itu mengulas sejarah panjang Parmalim hingga arti penting gondang (gendang) sebagai media ungkap ekspresif spritual bagi penganut agama itu. Kaum cerdik pandai tidak memiliki kata sepakat tentang pembentukan agama Parmalim. Namun, secara umum ada dua pandangan berbeda yang menyiratkan asal muasal agama 'asli' orang Batak tersebut. Pada satu sisi, ajaran Parmalim dicetuskan oleh Guru Somalaing Pardede pada akhir 1800-an. Ajaran Parmalim dibentuk oleh datu itu—orang yang memiliki kemampuan magis—setelah melakukan perjalanan dan menyerap pandangan Katolik dan Islam. Pada sisi lain, Parmalim diprakarsai oleh Sisingamangaraja XII (hal. 19-25). Di tengah penjelasan yang tidak tunggal tersebut, Irwansyah Harahap menyatakan bahwa "... kemunculan ajaran ini berakar pada keinginan untuk mengukuhkan kembali sistem sosial-spiritual lokal Batak Toba dan sekaligus perlawanan terhadap nilai-nilai baru dari misi zending Kristen (dalam hal ini institusi Rheinische Mission-Gessellschaft (RMG) Jerman) dan kolonialis Belanda di tanah Batak" (hal. 26).
Dari rentetan sejarah panjang, sejak kedatangan kolonialisme hingga masuknya Kristen Jerman menjelang akhir abad ke-19, lalu tegaknya kemerdekaan di negeri ini, nasib penganut Parmalim ternyata tidak berubah menjadi lebih baik. Di bawah kekuasaan Orde Baru, Parmalim hanya dimasukkan ke dalam kotak 'aliran kepercayaan'. Ironisnya, sekumpulan ilmuwan sosial justru meneguhkan kepentingan politis negara itu. Walaupun prasyarat menjadi 'agama' yang diajukan negara bisa dipenuhi penganut 'aliran kepercayaan', negara tetap menganggapnya bukan 'agama' (hal. 75-76).
Penampikan negara tidak berhenti di situ. Dalam state of mind penyelenggara negara, pengikut ajaran kepercayaan bahkan diharuskan memilih salah satu agama arus utama. Konsekuensi logisnya, posisi aliran kepercayaan ditempatkan jauh lebih rendah dibandingkan agama mainstream. Situasi itu semakin pelik ketika pihak Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) mengira bahwa Parmalim merupakan praktik 'pra-Kristen'. Implikasinya, Parmalim dianggap sebagai ajaran yang keliru atau menyesatkan (hal. 86-87). Dari penjelasan tersebut, cukup aman untuk mengatakan bahwa jejak historis Parmalim ialah sejarah penuh luka. Hanya karena keyakinan, mereka ditekan 'dari atas' oleh negara dan 'dari kiri-kanan' oleh kelompok masyarakat.
Sebagai ilustrasi, mereka kesulitan memperoleh kartu identitas pribadi hingga legalitas formal pernikahan dan perkawinan. Efek dominonya, akses kehidupan sosial lain, seperti masuk sekolah, mencari pekerjaan, dan lain-lain, terhambat (hal. 85). "Bahkan kalau kami hendak memukul gendang pun, diperlukan izin...," ucap seorang warga Parmalim (hal. 86). Agaknya dari luka itulah, iman mereka tidak menjadi murahan, yang tidak enteng diperoleh, yang dirawat penuh dengan perjuangan.
Parmalim adalah "kumpulan masyarakat Batak Toba yang mengamalkan dan melaksanakan ajaran ugamo malim". Di sini, malim berarti "suci", dan hamalimon memiliki arti "kesucian". Tidak jarang, Parmalim disebut juga dengan istilah Par-Ugamo: "orang-orang yang menjalankan ugamo/'ajaran luhur'"—"sesuatu yang berhubungan dengan alam spiritual-keilahian (partondian)" (hal.136).
Dalam ajaran Parmalim, terdapat beberapa prinsip dasar etika sosial, dan mereka harus ditampilkan dalam kebersihan dan ketulusan hati terhadap apa yang dimakan, dilihat, dikatakan, dan menghargai "dudukan" (dari sopan santun terhadap yang dituakan hingga menyangkut etika ketika berjalan). Prinsip tersebut juga harus mencerminkan perilaku ritual dan sosial dalam mardebata (berTuhan), maradat (hubungan berlandaskan adat), marpatik (memiliki aturan), maruhum (berpijak pada landasan hukum), dan marharajaon (memiliki landasan wilayah kerajaan/pemerintahan) (hal. 136-137).
Hal lain yang bisa diidentifikasi dari agama Parmalim ialah adanya sejumlah abstraksi figur keilahiaan, dan salah satunya adalah Mulajani Na Bolon. Mulajani Na Bolon merupakan Sang Pencipta yang "tidak bermula dan tidak berakhir" (hal. 93). Sebelum peribadatan Parmalim dimulai, tonggo-tonggo (doa pujian) kepada Mulajani Na Bolon terlebih dahulu dipanjatkan. Terjemahan doa pujian itu dalam bahasa Indonesia seperti berikut ini:
"Sampaikanlah kepada Tuhan kita Debata Mulajani Na Bolon yang telah menjadikan segala apa yang ada. Kita sampaikan sembah pujian-pujian kepadaNya melalui perantara jiwa anakNya yang kita hormati yakni Bapak kita Raja Nasiak Bagi, Raja Tubu (Raja yang Terlahir), Raja Sioloan (Yang Diikuti) di dunia ini... (hal. 95).
Doa pujian (tonggo-tonggo) itu, kata Irwansyah Harahap (hal. 95), dilantunkan bersamaan dengan alat musik gondang. Pada titik ini, gondang merupakan "representasi simbolik" dari ungkapan doa. Doa dan gondang pada akhirnya adalah dua hal yang saling berkaitan. Jika doa merupakan bentuk pujian verbal-tekstual, gondang adalah manifestasi pujian simbolik bunyi (hal. 161). Penjelasan inilah yang kemudian membedakan orang Batak Toba pada umumnya dengan penganut Parmalim. Kalau orang Batak Toba sekadar memakai gondang pada acara atau ritual adat, penganut Parmalim justru lebih tinggi lagi, yakni kegiatan-kegiatan spiritual atau keagamaan.
Dari buku "Hata Ni Debata", kita bisa menemukan arti penting gondang bagi penganut agama Parmalim. Namun, Irwansyah Harahap belum melihat kemungkinan lain. Walaupun tidak menjadi cakupan utama risetnya, orang-orang Batak Toba Kristen tidak jarang memainkan gondang, dan mengucapkan kata-kata berkaitan dengan Mulajani Na Bolon di kegiatan adat. Hingga derajat tertentu, mereka menyerupai si bapak dalam cerpen Sitor Situmorang. Bagaimana kita membaca fenomena seperti ini? Apakah ia hanya asesoris dalam acara adat? Atau, jangan-jangan ia justru memiliki makna lebih dari itu?
Lepas dari soal itu, kalau kita menggunakan pemaparan Hikmat Budiman (2010) dalam "Minoritas, Multikultural(isme), Demokrasi: Beberapa Observasi" guna memandang Kristen, boleh dikatakan Kristen baik secara jumlah ataupun signifikansi merupakan mayoritas di dunia, tetapi minoritas di Indonesia. Di Tanah Batak (Toba), Kristen merupakan mayoritas, dan Parmalim adalah minoritas. Dari tumpukan kisah relasi mayoritas-minoritas di manapun, kita dengan mudah menemukan bahwa mayoritas kerap merasa paling benar, mudah mencurigai, gampang membunuh, dan kemudian membusungkan dada atas seluruh tindakan tersebut. Sebab, mereka merasa sebagai kelompok yang paling sah penjaga "sabda dari surga".
Dari jurusan lain, dunia memperlihatkan bahwa jejak historis agama-agama begitu buas dan ganas. Tetapi, Parmalim merupakan pengecualian. Kita cenderung mustahil menemukan dua hal itu dalam lintasan sejarah Parmalim. Yang ada di tubuh agama Parmalim justru luka. "Mungkin Parmalim ada baiknya dengan jumlahnya yang sedikit ini. Kalau dia membesar mungkin kelakuannya akan sama dengan agama-agama besar," ujar seorang Pemuda Parmalim Hutatinggi (hal. 19). Ratusan tahun setelah Nommensen undur diri dari kehidupan ini, kita tidak hanya menemukan Parmalim sebagai agama di Tanah Batak, melainkan juga sebagai inspirasi. Dari Parmalim, sedikit memodifikasi ungkapan Irwansyah Harahap, kita setidaknya bisa memahami "sabda dari surga."
*tulisan ini pernah dimuat di http://www.populicenter.org
Peneliti Populi Center
| |
Beberapa dekade selepas Nommensen mengabarkan Injil di Tanah Batak, Sitor Situmorang menulis cerpen "Ibu Pergi ke Sorga". Di dalamnya, kita bersua dengan satu keluarga Batak Kristen, akan tetapi memiliki pandangan yang berbeda terhadap agama itu: seorang anak lelaki yang sudah enggan bersentuhan dengan agama; ibu yang rutin ke gereja dan mengikuti kegiatan agama; dan bapak yang tampaknya belum beranjak dari praktik Parmalim, sekalipun sudah dibaptis menjadi seorang Kristen.
Jika Sitor Situmorang secara terang benderang menggambarkan sikap si anak dan ibu terhadap agama, ia justru secara samar-samar, atau tidak terlalu gamblang, mengilustrasikan keyakinan si bapak. Dalam benak orang Batak (Toba), khususnya mereka yang sudah berafiliasi dengan agama di luar Parmalim, (penganut) agama Parmalim acap kali digambarkan dengan takhayul, mantra, dan makan sirih. Dan Sitor Situmorang mendeskripsikan si bapak persis seperti itu:
"Ia (baca: bapak) masih mengucapkan mantera kalau ada kejadian istimewa dengan diri atau keluarganya... Ia duduk sendirian di sudut ruangan dalam yang besar sambil menumbuk sirihnya di lesung kecil dibuat dari perak".
Cerpen Sitor Situmorang itu setidak-tidaknya memperlihatkan bahwa kedatangan Kristen di Tanah Batak tidak seutuhnya menggilas Parmalim. Sekalipun gereja-gereja tegak berdiri dan lantunan doa-doa dipanjatkan setiap Minggu, masih ada orang-orang yang tidak meninggalkan Parmalim. Bahkan, walaupun sudah dipermandikan menjadi Kristen, terdapat orang-orang yang tetap melaksanakan praktik Parmalim, seperti si bapak dalam cerpen Sitor Situmorang. "Bapak kalau di gereja diberi juga tempat istimewa dekat pendeta, di atas kursi besar menghadap jemaat, sebab ia orang yang dirajakan, pun sebelum zending dan kompeni datang..." tambah Sitor Situmorang.
Merawat Iman
Sitor Situmorang tentu saja tidak sendirian. Pada 2016, Irwansyah Harahap mempublikasikan hasil penelitiannya di Desa Hutatinggi Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, menjadi sebuah buku berjudul "Hata Ni Debata". Di buku ini, jebolan University of Wellington, Seattle, Amerika Serikat itu mengulas sejarah panjang Parmalim hingga arti penting gondang (gendang) sebagai media ungkap ekspresif spritual bagi penganut agama itu. Kaum cerdik pandai tidak memiliki kata sepakat tentang pembentukan agama Parmalim. Namun, secara umum ada dua pandangan berbeda yang menyiratkan asal muasal agama 'asli' orang Batak tersebut. Pada satu sisi, ajaran Parmalim dicetuskan oleh Guru Somalaing Pardede pada akhir 1800-an. Ajaran Parmalim dibentuk oleh datu itu—orang yang memiliki kemampuan magis—setelah melakukan perjalanan dan menyerap pandangan Katolik dan Islam. Pada sisi lain, Parmalim diprakarsai oleh Sisingamangaraja XII (hal. 19-25). Di tengah penjelasan yang tidak tunggal tersebut, Irwansyah Harahap menyatakan bahwa "... kemunculan ajaran ini berakar pada keinginan untuk mengukuhkan kembali sistem sosial-spiritual lokal Batak Toba dan sekaligus perlawanan terhadap nilai-nilai baru dari misi zending Kristen (dalam hal ini institusi Rheinische Mission-Gessellschaft (RMG) Jerman) dan kolonialis Belanda di tanah Batak" (hal. 26).
Dari rentetan sejarah panjang, sejak kedatangan kolonialisme hingga masuknya Kristen Jerman menjelang akhir abad ke-19, lalu tegaknya kemerdekaan di negeri ini, nasib penganut Parmalim ternyata tidak berubah menjadi lebih baik. Di bawah kekuasaan Orde Baru, Parmalim hanya dimasukkan ke dalam kotak 'aliran kepercayaan'. Ironisnya, sekumpulan ilmuwan sosial justru meneguhkan kepentingan politis negara itu. Walaupun prasyarat menjadi 'agama' yang diajukan negara bisa dipenuhi penganut 'aliran kepercayaan', negara tetap menganggapnya bukan 'agama' (hal. 75-76).
sejak kedatangan kolonialisme hingga masuknya Kristen Jerman menjelang akhir abad ke-19, lalu tegaknya kemerdekaan di negeri ini, nasib penganut Parmalim ternyata tidak berubah menjadi lebih baik. Di bawah kekuasaan Orde Baru, Parmalim hanya dimasukkan ke dalam kotak 'aliran kepercayaan'.
Penampikan negara tidak berhenti di situ. Dalam state of mind penyelenggara negara, pengikut ajaran kepercayaan bahkan diharuskan memilih salah satu agama arus utama. Konsekuensi logisnya, posisi aliran kepercayaan ditempatkan jauh lebih rendah dibandingkan agama mainstream. Situasi itu semakin pelik ketika pihak Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) mengira bahwa Parmalim merupakan praktik 'pra-Kristen'. Implikasinya, Parmalim dianggap sebagai ajaran yang keliru atau menyesatkan (hal. 86-87). Dari penjelasan tersebut, cukup aman untuk mengatakan bahwa jejak historis Parmalim ialah sejarah penuh luka. Hanya karena keyakinan, mereka ditekan 'dari atas' oleh negara dan 'dari kiri-kanan' oleh kelompok masyarakat.
Sebagai ilustrasi, mereka kesulitan memperoleh kartu identitas pribadi hingga legalitas formal pernikahan dan perkawinan. Efek dominonya, akses kehidupan sosial lain, seperti masuk sekolah, mencari pekerjaan, dan lain-lain, terhambat (hal. 85). "Bahkan kalau kami hendak memukul gendang pun, diperlukan izin...," ucap seorang warga Parmalim (hal. 86). Agaknya dari luka itulah, iman mereka tidak menjadi murahan, yang tidak enteng diperoleh, yang dirawat penuh dengan perjuangan.
"Orang Suci"
Parmalim adalah "kumpulan masyarakat Batak Toba yang mengamalkan dan melaksanakan ajaran ugamo malim". Di sini, malim berarti "suci", dan hamalimon memiliki arti "kesucian". Tidak jarang, Parmalim disebut juga dengan istilah Par-Ugamo: "orang-orang yang menjalankan ugamo/'ajaran luhur'"—"sesuatu yang berhubungan dengan alam spiritual-keilahian (partondian)" (hal.136).
Dalam ajaran Parmalim, terdapat beberapa prinsip dasar etika sosial, dan mereka harus ditampilkan dalam kebersihan dan ketulusan hati terhadap apa yang dimakan, dilihat, dikatakan, dan menghargai "dudukan" (dari sopan santun terhadap yang dituakan hingga menyangkut etika ketika berjalan). Prinsip tersebut juga harus mencerminkan perilaku ritual dan sosial dalam mardebata (berTuhan), maradat (hubungan berlandaskan adat), marpatik (memiliki aturan), maruhum (berpijak pada landasan hukum), dan marharajaon (memiliki landasan wilayah kerajaan/pemerintahan) (hal. 136-137).
Hal lain yang bisa diidentifikasi dari agama Parmalim ialah adanya sejumlah abstraksi figur keilahiaan, dan salah satunya adalah Mulajani Na Bolon. Mulajani Na Bolon merupakan Sang Pencipta yang "tidak bermula dan tidak berakhir" (hal. 93). Sebelum peribadatan Parmalim dimulai, tonggo-tonggo (doa pujian) kepada Mulajani Na Bolon terlebih dahulu dipanjatkan. Terjemahan doa pujian itu dalam bahasa Indonesia seperti berikut ini:
"Sampaikanlah kepada Tuhan kita Debata Mulajani Na Bolon yang telah menjadikan segala apa yang ada. Kita sampaikan sembah pujian-pujian kepadaNya melalui perantara jiwa anakNya yang kita hormati yakni Bapak kita Raja Nasiak Bagi, Raja Tubu (Raja yang Terlahir), Raja Sioloan (Yang Diikuti) di dunia ini... (hal. 95).
Doa pujian (tonggo-tonggo) itu, kata Irwansyah Harahap (hal. 95), dilantunkan bersamaan dengan alat musik gondang. Pada titik ini, gondang merupakan "representasi simbolik" dari ungkapan doa. Doa dan gondang pada akhirnya adalah dua hal yang saling berkaitan. Jika doa merupakan bentuk pujian verbal-tekstual, gondang adalah manifestasi pujian simbolik bunyi (hal. 161). Penjelasan inilah yang kemudian membedakan orang Batak Toba pada umumnya dengan penganut Parmalim. Kalau orang Batak Toba sekadar memakai gondang pada acara atau ritual adat, penganut Parmalim justru lebih tinggi lagi, yakni kegiatan-kegiatan spiritual atau keagamaan.
Epilog
Dari buku "Hata Ni Debata", kita bisa menemukan arti penting gondang bagi penganut agama Parmalim. Namun, Irwansyah Harahap belum melihat kemungkinan lain. Walaupun tidak menjadi cakupan utama risetnya, orang-orang Batak Toba Kristen tidak jarang memainkan gondang, dan mengucapkan kata-kata berkaitan dengan Mulajani Na Bolon di kegiatan adat. Hingga derajat tertentu, mereka menyerupai si bapak dalam cerpen Sitor Situmorang. Bagaimana kita membaca fenomena seperti ini? Apakah ia hanya asesoris dalam acara adat? Atau, jangan-jangan ia justru memiliki makna lebih dari itu?
Lepas dari soal itu, kalau kita menggunakan pemaparan Hikmat Budiman (2010) dalam "Minoritas, Multikultural(isme), Demokrasi: Beberapa Observasi" guna memandang Kristen, boleh dikatakan Kristen baik secara jumlah ataupun signifikansi merupakan mayoritas di dunia, tetapi minoritas di Indonesia. Di Tanah Batak (Toba), Kristen merupakan mayoritas, dan Parmalim adalah minoritas. Dari tumpukan kisah relasi mayoritas-minoritas di manapun, kita dengan mudah menemukan bahwa mayoritas kerap merasa paling benar, mudah mencurigai, gampang membunuh, dan kemudian membusungkan dada atas seluruh tindakan tersebut. Sebab, mereka merasa sebagai kelompok yang paling sah penjaga "sabda dari surga".
Dari jurusan lain, dunia memperlihatkan bahwa jejak historis agama-agama begitu buas dan ganas. Tetapi, Parmalim merupakan pengecualian. Kita cenderung mustahil menemukan dua hal itu dalam lintasan sejarah Parmalim. Yang ada di tubuh agama Parmalim justru luka. "Mungkin Parmalim ada baiknya dengan jumlahnya yang sedikit ini. Kalau dia membesar mungkin kelakuannya akan sama dengan agama-agama besar," ujar seorang Pemuda Parmalim Hutatinggi (hal. 19). Ratusan tahun setelah Nommensen undur diri dari kehidupan ini, kita tidak hanya menemukan Parmalim sebagai agama di Tanah Batak, melainkan juga sebagai inspirasi. Dari Parmalim, sedikit memodifikasi ungkapan Irwansyah Harahap, kita setidaknya bisa memahami "sabda dari surga."
*tulisan ini pernah dimuat di http://www.populicenter.org
Info Buku:
Judul: Hata Ni Debata: Etnografi Kebudayaan Spiritual-Musikal Parmalim Batak Toba
Penulis: Irwansyah Harahap
Penerbit: Semai, 2016
Tebal : 342 halaman
ISBN: -