For the Love of Books

100%BBC, 100% Indonesia?

OLEH IGNATIUS HARYANTO
Pengamat media, pengajar jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang


| |

londoncallingBBC
Umat Katolik pasti ingat adagium yang pernah diucapkan Mgr. Albertus Soegijapranata: "100% Katolik, 100% Indonesia." Dalam pengertian Uskup yang kisah hidupnya pernah diangkat ke layar lebar tersebut, 100% Katolik, 100% Indonesia mau menunjuk pada loyalitas yang harus ditunjukkan warga Katolik di Indonesia, dan walaupun secara matematis rasanya tak mungkin perhitungan di atas, tetapi yang utama hendak ditunjukkan di sini, pada diri seseorang tersebut adalah loyalitas pada bangsa dan loyalitas pada kepercayaannya. Tak perlu dipertentangkan.

Entah kenapa saya teringat dengan adagium ini setelah menyimak buku London Calling ini, tetapi dengan penulisan berbeda: 100% BBC, 100% Indonesia? Kita tahu BBC adalah salah satu organisasi media besar dan tertua di dunia, dengan standar jurnalistik yang tinggi, dengan prinsip imparsialitas yang sangat terkenal, bahkan kerap berseberangan jalan dengan pemerintah Inggris yang sebenarnya membiayai operasi kantor BBC lewat pajak dan iuran para pendengar.

Buku ini memuat kisah 35 orang Indonesia yang terpilih menjadi bagian dari organisasi media besar tersebut, tetapi ketika menjadi bagian dari BBC, bahkan BBC Seksi / Siaran Indonesia, nasionalitas mereka semua terpaksa harus dibekukan terlebih dahulu. Sederhana: karena prinsip imparsialitas itulah yang mereka junjung tinggi. Bahkan kepada pemerintah Indonesia, para jurnalis ini tak memosisikan mereka adalah bagian dari “kita” dan “tanah air kita.” Prinsip imparsialitas BBC yang mengemuka dan tak ada urusan dengan kewarganegaraan jurnalisnya.

Buat mereka yang menjadi jurnalis BBC Siaran Indonesia ini, keterangan dari berbagai pihak, seperti kalangan NGO, kelompok swasta, hingga pihak pemerintah Indonesia harus selalu dicerna dengan skeptis, tidak langsung percaya, dan membungkus serta menyimpan rasa nasionalisme dalam-dalam.

Itulah salah satu pelajaran penting yang bisa ditarik dari berbagai pengalaman jurnalis BBC yang bekerja mulai dari dekade 1960-an hingga ke era 2000an. BBC Siaran Indonesia sendiri bisa dibilang lebih tua umurnya dari Pengakuan Kedaulatan yang diucapkan pemerintah Belanda atas Republik muda usia ini. BBC Siaran Indonesia sudah siaran sejak Oktober 1949, dan Belanda baru mengakui republik muda ini pada 27 Desember 1949.

Lepas dari urusan kelahiran, isi buku ini sangat mengasyikkan (kisah wartawan mana yang tidak mengasyikkan?). Kita akan bertemu macam-macam pengalaman mulai dari lucu, mendebarkan, dan di sana-sini kita akan menemukan sejumlah pedoman dasar yang dipegang oleh organisasi media besar dan terhormat itu. Saya baru tahu misalnya bahwa narasumber diberi honor oleh wartawan BBC untuk menghargai kepakarannya, kemudian ada juga kisah jurnalis BBC yang ketinggalan memory card (kok bisa ya?) dalam kameranya saat mewawancara salah satu menteri Malaysia. Pun soal pelatihan dalam situasi genting (hostile situation) semisal skenario penculikan jurnalis di wilayah konflik (ingat BBC adalah media dunia yang meliput ke berbagai wilayah dunia), dan pelatihan dilakukan bersama pasukan elite Inggris, SAS.

"ketika menjadi bagian dari BBC, bahkan BBC Seksi / Siaran Indonesia, nasionalitas mereka semua terpaksa harus dibekukan terlebih dahulu. Sederhana: karena prinsip imparsialitas itulah yang mereka junjung tinggi"



Salah satu contoh pedoman yang dipegang oleh BBC adalah, lagi-lagi, terkait masalah imparsialitas. Pada kasus seperti ketegangan di Timor Timur (sebelum tahun 1999), Papua, Aceh, adalah wilayah-wilayah di mana jurnalis BBC tak menerima begitu saja versi pemerintah atas setiap insiden. Para pejabat pemerintah RI sering kaget atau kesal dengan sikap jurnalis Indonesia yang bekerja di BBC. Bahkan dalam sejumlah kejadian, jurnalis BBC Siaran Indonesia misalnya tak diperkenankan masuk ke Papua atau pertemuan tertentu, karena statusnya dianggap sebagai media asing, walaupun jurnalisnya asal Indonesia.

Kita pun akan mendengar bagaimana kisah masing-masing penulis bergabung dengan BBC. Ada yang super excited, ada yang menyesali mengapa penerimaan BBC ini terjadi setelah ayahnya yang pendengar setia BBC Seksi Indonesia telah meninggal dunia, ada juga jurnalis kelahiran Sukabumi yang lebih merasa London adalah rumahnya. Kisah beragam pun kita bisa temui dari para penulis terkait pengalaman saat di BBC, hingga pada saat meninggalkan BBC.

Salah satu kisah yang paling lucu menurut saya adalah kisah Eka Budianta, wartawan BBC era akhir 1980-an. Eka menjadi penyiar di BBC dan membacakan berita dalam sejumlah siaran BBC, serta juga menyiapkan sandiwara radio di BBC. Pada 1989, pasangan suami-istri yang tinggal di Bangka Belitung meminta izin pada Eka untuk memberi nama yang sama bagi anak lelakinya. Eka mengizinkan. Menariknya, pada 2015, Eka mengajak bertemu si anak yang bernama sama itu.

Saat kedua Eka Budianta bertemu, si anak menelepon ibunya, “Mama, saya sudah bersama Pak Eka Budianta yang dulu penyiar BBC London.”

Lebih seru lagi ketika si anak menikah, Eka Budianta asli diundang dan diminta memberi sambutan atas nama keluarga. Pada kesempatan tersebut, ia menjelaskan mengapa memiliki nama yang sama dengan mempelai pria.

Sila baca pengalaman jurnalis-jurnalis BBC lain dalam buku ini. Seru dengan pengalaman lapangan, pengalaman beradaptasi dengan lembaga yang mempersiapkan jurnalis dan stafnya dengan pelbagai macam pelatihan untuk menghadapi tuntutan liputan yang bermacam-macam, hingga pelatihan manajemen atau pun yang menyangkut keselamatan jurnalis di wilayah konflik. Pun ketika masuk ke era digital, BBC pun turut menyesuaikan diri dan para jurnalis serta staf lain pun disiapkan untuk masuk ke era baru ini. Jadi 100% BBC, ya 100% BBC.
Info Buku:


Judul: London Calling: Pengalaman Bekerja di BBC
Penulis: Arya Gunawan (Editor)
Penerbit: Kosa Kata Kita, Jakarta; 2020
Tebal : 426 halaman
ISBN: -