For the Love of Books

Dari Mana Datangnya Musik Dunia Ketiga?


OLEH TAUFIQ RAHMAN
Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, founder Elevation Records


| |

Awal tahun ini, saat coronavirus sedang berkecamuk di Wuhan dan mungkin sudah mendarat di Amerika Serikat, saya sempat mampir beberapa hari di Pittsburgh (sebelum terbang pulang selama 26 jam ke Jakarta dengan singgah di Hong Kong!). Tidak ada agenda atau niatan khusus; hanya mengunjungi seorang teman sambil mengikuti sejenak kelas tentang Led Zeppelin dari seorang etnomusikolog pemerhati dangdut, mengunjungi museum Andy Warhol, wira-wiri ke toko buku dan record store yang mudah ditemukan di setiap sudut jalan. Namun karena cuaca yang sedang dingin, meski tidak terlalu dingin, lebih banyak waktu justru dihabiskan untuk membaca buku sambil mendengarkan piringan hitam dari peralatan ala kadarnya.

Dari beberapa buku yang sempat habis terbaca ada satu yang meninggalkan kesan begitu mandalam. Buku ini, yang ditulis oleh professor Studi Amerika dari Universitas Yale Michael Denning, menawarkan cara pandang yang unik tentang proliferasi musik-musik klangenan dunia ketiga; genre-genre seperti keroncong, tarab, tango, samba dan musik Hawaiian. Di buku dengan judul yang begitu bergelora; Noise Uprising: The Audiopolitics of a World Musical Revolution, Michael Denning, seorang peneliti studi Amerika justru berbalik arah 180 derajat dan berusaha mencari menawarkan cara pandang lain tentang formasi genre-genre musik yang berkecambah di kota-kota “Pelabuhan” besar dunia ketiga. Denning menolak conventional wisdom bahwa ekspresi bermusik yang muncul di tempat-tempat ini merupakan hasil revolusi musik yang memancar dari pusat (core) yang menggerus pinggiran (periphery).

Yang terjadi bukanlah Louis Armstrong, Miles Davis, Elvis atau The Beatles menggoyang dunia dan menciptakan boneka-boneka imitasinya di Jakarta, Shanghai atau Kairo, namun merupakan hasil dialektika dari kerja kekuatan khusus yang memang datang dari pusat metropolis global, mengobrak-abrik periferi, namun alih-alih menciptakan turunan atau fotokopi Barat, yang mengemuka adalah sebuah hibrida yang justru membantu menciptakan identitas budaya baru bagi negara-bangsa yang muncul pasca Perang Dunia II.

"pada akhir tahun 1926, teknisi dari label Jerman Beka Records Max Birckhahn, mendarat di Batavia untuk merekam penampilan nyanyi dan tari artis Indo-Eropa dari teater Stambul, Miss Riboet, yang kemudian mendendangkan komposisi terkenal “Krontjong Moeritskoe” diiringi biola, seruling dan piano."


Dan jika di Imagined Communities, Ben Anderson memberikan kredit kepada printing press bagi munculnya semangat nasionalisme di dunia ketiga, Michael Denning memberikan penghormatan itu kepada industri musik global yang melakukan proses perekaman melalui media shellac 10 inch yang sempat meledak dari tahun 1925-1930. Ini tentu saja sebuah cara pandang yang sangat baru dan hampir tidak terduga, dan dengan menelisik suatu masa yang sangat singkat namun memberikan pengaruh yang begitu luar biasa dalam lansekap musik dunia (atau dengan istilah populer “world music”, sebuah misnomer), buku Noise Uprising ini begitu memikat untuk dibaca, layaknya sebuah cerita detektif yang mencoba mendedahkan sejarah alternatif dari dunia kita saat ini.

Sama seperti Ben Anderson menuduh kekuatan kapitalisme global sebagai necessary evil bagi lahirnya negara-bangsa, Michael Denning memberikan peran kepada akumulasi kapital yang dilakukan oleh industri musik yang bernafsu mengkomodifikasi suara, noise, field recording, musik tradisional dan apapun yang bisa direkam melalui shellac, untuk dijual kepada audiens berduit di negara maju (tidak beda jauh dengan apa yang kini dilakukan oleh label-label Sublime Frequencies, Finders Keepers, Now Again atau Luaka Bop, yang menggali dan mengemas ulang musik dunia ketiga untuk dijual mahal ke pendengar kaya di New York, Seattle, London dan Paris).

Semua bermula dari periode yang disebut Denning sebagai “electric era” yang dimulai dari tahun 1925. Sebelum era elektrik, telah bermula “acoustic era” dari tahun 1900-25 dan sesudahnya “tape era” (1948-80) dan diakhiri oleh zaman mutakhir “digital era” (1980-sekarang). Era electrik yang menjadi sasaran perhatian di buku ini menarik karena untuk pertama kalinya terjadi hubungan simbiosis antara pembuat pemutar piringan hitam phonograph dengan label-label rekaman awal seperti Victor Talking Machine Company, Columbia, Odeon, Beka, Brunswick, Gramophone Company yang berkepentingan untuk menjual musik dalam format piringan hitam shellac yang kebanyakan berkecepatan 78 RPM.

Efek yang diciptakan dari ditemukannya sarana pemutar piringan hitam sungguh spektakuler. Dengan dimungkinkannya musik diputar kapanpun dan dimanapun tanpa harus melibatkan konser, tercipta ledakan permintaan musik dalam format fisik. Dan untuk memenuhi naiknya permintaan produk rekaman ini, label-label besar dunia mengirim utusannya, teknisi rekaman dan produser-nya ke tempat-tempat jauh di dunia ketiga untuk merekam musik-musik “eksotik” yang sejatinya hendak dijual ke metropolis.

Bulan Oktober 1925 misalnya, label Victor mengirim teknisinya dengan menggunakan proses perekaman elektrik paling canggih di masanya untuk merekam permainan musik Afro-Cuban son oleh grup Sexteto Habanero. Lagu pertama yang direkam “Maldita timidez” adalah sebuah komposisi paling penting dari kegemilangan era son. Satu tahun kemudian, bulan September 1926, Sexteto Habanero, berangkat ke New York dan merekam 12 lagu lagi untuk Victor.

Juga pada akhir tahun 1926, teknisi dari label Jerman Beka Records Max Birckhahn, mendarat di Batavia untuk merekam penampilan nyanyi dan tari artis Indo-Eropa dari teater Stambul, Miss Riboet, yang kemudian mendendangkan komposisi terkenal “Krontjong Moeritskoe” diiringi biola, seruling dan piano. Miss Riboet kemudian meledak menjadi bintang rekaman pertama yang paling sukses kala itu dan Beka Records kemudian memutuskan untuk merekam lagu album-album spesial bersamanya yang salah satunya memuat “Krontjong Dardanella,” yang kemungkinan direkam pada bulan Agustus 1928.

Bulan Mei 1926, seorang penyanyi muda tarab dari daerah delta sungai Nil bernama Ummi Kulsum, juga sedang merekam lagu-lagu yang kemudian tergurat di 10 keping plat 78 RPM dengan bantuan teknisi Gramophone Company bernama S.H. Heard. Meskipun Ummi Kulsum pernah melakukan rekaman dengan Odeon, plat yang dirilis oleh Gramophone Company sangatlah penting mengingat lagu-lagu di album ini direkam dengan band utuh yang memainkan biola, ‘ud, tamborin dan qanun. Setelah rekaman ini kita semua tahu bagaimana kelanjutan karir musik sang biduan.

Modus operandi ini berulang di setiap kota-kota pelabuhan besar di dunia ketiga, dari Istanbul, Tunis sampai Bombai.

Pada awalnya rekaman-rekaman ini hendak dijual kepada khalayak di negara maju, atau paling sedikit kepada elit-elit lokal yang memiliki pemutar gramofon mahal produk Victrola yang sekaligus berfungsi sebagai simbol status layaknya piano akustik rumahan.

Namun perkembangan yang tidak terduga muncul antara tahun 1925-1929, di mana musik-musik ‘eksotik’ itu justru lebih banyak dikonsumsi oleh khalayak di negeri asalnya. Piringan hitam itu memang masih diproduksi di pabrik-pabrik besar di Inggris, Jerman dan Amerika Serikat namun sebagian besar produknya malah diekspor ke negara-negara asalnya. Dari semua rekaman yang diproduksi di Inggris antara tahun 1925 sampai tahun 1929, terdapat kenaikan ekspor sebesar 75 persen sepanjang periode tersebut; naik dari 8.5 juta kopi menjadi 15 juta kopi. Di Jawa dan Semenanjung Malaya, meningkatnya popularitas keroncong ditandai oleh kenaikan sebesar empat kali lipat jumlah ekspor piringan hitam keroncong dari Inggris ke dua wilayah tersebut.

Masuknya rekaman musik “pribumi” ke tempat asalnya itulah kemudian menciptakan beberapa konsekuensi tidak terduga, terutama dalam aras politik. Musik yang direkam pada satu ruang dan waktu tertentu pada akhirnya tidak lagi memiliki ikatan dengan keduanya, sama seperti Opera Wagner yang jatuh ke tangan Hitler atau musik Rage Against the Machine diputar pada saat kampanye Make America Great Again (MAGA). Di buku ini Michael Denning secara spesifik mengutip Theodor Adorno untuk menjelaskan fungsi musik eksotik dunia ketiga yang dikomodifikasi oleh raksasa rekaman dunia, “the downtrodden gramophone horns reassert themselves as proletarian loudspeaker.”

Contoh paling dekat tentang bagaimana musik menemukan jalannya sendiri adalah tentang bagaimana keroncong menjadi musik politis pada dekade 1940-an. Sebuah hibrida, gado-gado dan cocktail genre-genre Indo dan Eurasia dan lama diasosiasikan dengan gerombolan-gerombolan pemuda nakal Jakarta (buaya keroncong), keroncong yang terekam melalui gramofon dan disiarkan melalui radio, menjadi sebuah lambang perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Di halaman 155 buku ini, Michael Denning mengutip Pramoedya Ananta Toer yang menulis bahwa keroncong “had the vitality of a nation that was not yet free.” Sehabis membaca buku ini, keroncong tidak akan terdengar sama lagi bagi saya.

Buku ini memang sebuah teks akademik yang layaknya dikonsumsi oleh mahasiswa etnomusikologi atau sejarah musik. Namun persinggunganya dengan perdebatan soal identitas post-colonial negara-negara berkembang membuatnya juga wajib menjadi bahan bacaan pemerhati politik di manapun. Atau jika Anda begitu mencintai musik, buku ini tentu bisa membuka banyak pintu menuju pemahaman baru tentang fungsi musik dalam politik. Sekali lagi, jangan pernah menempatkan musik hanya sebagai hiburan.
Info Buku:


Judul: Noise Uprising: The Audiopolitics of a World Musical Revolution
Penulis: Michael Denning
Penerbit: Verso, 2015
Tebal : 320 halaman
ISBN: 978-178-1688-56-4